Langsung ke konten utama

Give Me Dare! #1: Tong Sampah

“Haruskah aku membeli waktu kalian agar kalian mau mendengarkan aku sebentar saja?”- Unknown.
Menyenangkan bukan memiliki seseorang atau bahkan beberapa yang selalu ada di samping kita dalam kondisi apapun. Mampu berbagi dan bercerita mengenai hal apapun, baik itu hal menyenangkan ataupun menyedihkan. Tanpa takut dia meninggalkan kita, tanpa takut dia membeberkannya pada orang lain, tanpa takut dia menghakimi kita. Beruntung sekali orang-orang seperti itu. Tidak perlu cemas mencari mereka karena sudah dipastikan mereka selalu siap sedia satu langkah di belakang kita. Benar-benar sangat beruntung.
Andai aku seperti itu...
Suara siapa itu? Ah, maaf, sepertinya suara itu berasal dari relung hatiku. Bicara apa aku ini? Tidak, seharusnya suara itu tidak pernah muncul. Seharusnya aku tidak disini, menatap benda mati yang terus menyala di depanku, melihat segala kekecewaan yang terjadi. Tapi realitanya aku disini, melihat pertunjukkan yang jari-jariku buat. Menari kesana kemari membuat berbagai kalimat yang terasa menyakitkan saat kubaca ulang. Aku masih saja disini, enggan pergi walau hati tercabik-cabik. Aku tidak sedih, aku hanya...
Kecewa...
Baiklah, aku akui, aku kecewa, bahkan sangat kecewa. Kecewa pada apa yang tidak pernah bisa aku miliki. Kecewa pada keadaan dimana aku selalu merasa sendiri. Aku kecewa, terlebih pada diriku sendiri. Aku benci pada diriku yang selalu menduga-duga tanpa ingin bertanya. Aku benci saat aku merasa sendiri. Aku benci diriku. Aku benci atas apa yang aku punya saat ini.
Aku kecewa karena aku tidak seperti orang lain yang bisa berbagi apapun, berbagi segala hal yang ingin dibagi. Aku kecewa karena aku tidak seperti mereka. Aku tidak memiliki siapapun yang bisa kujadikan sandaran ketika kakiku tidak lagi sanggup menahan beban ini. Aku tidak memiliki siapapun yang mampu meyakinkanku untuk bangkit dari keterpurukan ini. Aku sendiri dan aku benci itu. Aku benci pada kesendirianku karena pada saat itu, akan muncul jiwa lain dalam diriku yang memaksaku untuk menyakiti diriku sendiri. Memaksaku untuk mengakhiri segalanya dengan cara yang salah. Aku sungguh tidak mengerti dengan diriku.
Aku diam bukan karena aku tidak ingin berbagi, aku diam karena aku ingin ada seseorang mendekap tubuhku tanpa bertanya “Kenapa? Ada apa? Are you okay?” Aku muak mendengar semua pertanyaan-pertanyaan itu. Aku tidak pernah merasa lebih baik saat pertanyaan itu dilontarkan kepadaku. Tidak pernah. Aku tidak sedang baik-baik saja dan tidak pernah baik-baik saja. Aku harap kalian tahu itu. Aku hanya ingin kalian berjalan mendekatiku, menggenggam erat tanganku, menyalurkan kekuatan yang kalian miliki. Aku tidak seperti kalian yang bisa mengawali sebuah percakapan, aku tidak bisa karena aku bukan kalian. Aku ingin kalian yang tahu sendiri apa yang aku inginkan, terdengar egois memang.
Aku sangat sulit menemui orang yang sudi membuang waktunya untuk mendengarkanku. Mendengarkan keluh kesah yang ada. Sangat sulit berjuang sendiri, membangkitkan diri sendiri tanpa bantuan orang lain. Seringkali ingin menyerah namun masih harus bertahan. Depresi. Ya, aku pernah mengalaminya. Aku pernah terjebak dalam dimensi yang terasa asing. Dimensi yang membuatku tertawa dan menangis secara bersamaan. Dimensi yang memaksa kedua tanganku untuk menyakitiki diriku sendiri. Lihat, aku sungguh menyedihan, bukan? Namun, aku berhasil keluar dari dimensi itu, berlari sejauh-jauhnya hingga dimensi itu tidak tampak lagi.
Aku sudah bertahan sejauh ini. Aku bertahan karena di luar sana ada ribuan orang yang memiliki masalah lebih berat dariku. Masalahku ini bukanlah apa-apa dibandingkan yang mereka punya. Maka dari itu aku akan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi pendengar yang baik karena aku tahu bagaimana rasanya diabaikan. Aku tahu rasanya tidak memiliki siapapun untuk berbagi. Aku tidak ingin ada nama-nama lain muncul karena mereka depresi terhadap masalah yang sedang mereka hadapi. Depresi tidak bisa dianggap sepele, banyak orang yang memilih mengakhiri hidup mereka karena depresi. Mereka bukannya ingin mengakhiri hidup, mereka hanya ingin membunuh rasa sakit yang mereka rasakan.
Itu sebabnya aku selalu mengatakan pada semua, aku ada bersama kalian selama 24 jam dalam seminggu. Aku ada saat kalian ingin berbagi, aku ingin kalian menyalurkan rasa sakit yang kalian miliki. Ada aku, buat aku menjadi berguna di hidup kalian. Aku ingin semua rasa yang kalian miliki bisa tersalurkan. Aku tidak ingin kalian pada akhirnya kecewa dan membenci diri kalian sendiri. Ada aku, datanglah kepadaku. Apapun yang terjadi, aku berada tepat satu langkah di belakang kalian. Aku siap memeluk dan menopang kalian saat kalian terjatuh.

Cukup, aku tidak ingin memperpanjang rasa sakit ini. Aku hanya ingin membuat kalian mengerti bahwa ada aku yang bisa kalian jadikan “tong sampah”, kapanpun itu. Dan satu lagi, aku hanya ingin kalian mengerti bahwa tidak selamanya aku menjadi pendengar, aku juga ingin didengarkan untuk sekali waktu. Bukannya aku ingin timbal balik dari kalian, aku hanya manusia biasa. Terkadang aku juga butuh didengarkan. Jika saat kalian sedih, aku ada. Lantas, mengapa kalian pergi saat aku ingin didengar? Tak bisakah kalian memelukku sebentar saja?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru

“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse. Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu. Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku. Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin be

Tentang Kita, Cerita Kita

“Kamu, tuh, pembohong terbaik di seluruh dunia. Kamu bisa bohong ke semua orang, tapi engga ke aku. Kamu itu rapuh, itu yang bikin aku ada disini buat jagain kamu.” – A.S. Sehebat apapun aku menyembunyikan suatu hal, kamu selalu berhasil mengetahuinya. Membuatku tidak pernah sanggup berbohong kepadamu, termasuk perihal perasaanku. Terkadang aku benci saat kamu bisa membaca semuanya secara tepat, membuatku tidak mempunyai celah untuk berbohong. Kamu selalu bisa membuatku tidak berani menatap mata elangmu itu. Kamu selalu punya cara untuk membongkar semuanya. Tigabelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita. Banyak hal baru yang kita lakukan bersama. Banyak kenangan indah yang kita buat bersama. Banyak kenyataan menyakitkan yang kita rasakan bersama. Dulu, saat keadaan belum sedekat ini, kamu adalah laki-laki pertama yang aku benci di hidupku. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang belajar berjalan. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang bermain. Kamu selalu saja mengangguku.