Langsung ke konten utama

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru


“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse.
Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu.
Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku.
Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin besar. Banyak pertanyaan-pertanyaan mengerikan yang terngiang dalam kepalaku. “Bagaimana jika mereka tidak menerima kehadiranku? Bagaimana cara aku memulai pertemanan ini? Apakah aku akan mempunyai teman nantinya? Bagaimana lingkungan baruku nanti?” Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu muncul saat aku mencoba berani untuk membuka diri. Lalu, bagaimana hasilnya? Aku gagal. Rasa takut itu benar-benar menguasai diriku. Tapi aku tidak berhenti sampai disini, aku masih terus berusaha hingga aku berhasil melakukannya.
Aku berhasil beradaptasi dengan mereka. Walau pada awalnya suasana canggung menghiasi percakapan kami, tapi aku berhasil menepisnya. Ketakutanku perlahan hilang. Aku tidak lagi merasa insecure, justru aku senang karena menemukan keluarga baru. Aku senang karena aku bertemu dengan banyak orang-orang hebat dari berbagai daerah. Hal inilah yang tidak pernah aku temui sebelumnya. Mendengar mereka berbicara dengan aksen daerah masing-masing adalah favoritku.
Aku belajar banyak dari pertemuan ini. Aku belajar untuk tidak cepat merasa puas dan berbangga diri dengan apa yang sudah aku punya. Aku belajar untuk menjadi lebih kritis dan lebih berani lagi. Aku terdorong untuk melakukan semua itu karena mereka menyadarkanku pada suatu hal, “Jika ingin lebih cerdas, belajar. Jika ingin lebih kritis, bicara. Jika ingin lebih berani, action.”
Bertemu dengan mereka bukanlah suatu kebetulan, apalagi keterpaksaan. Bertemu dengan mereka adalah keberuntungan dan juga takdir Tuhan terindah yang pernah ada. Berkat mereka, aku tidak lagi se-insecure dulu. Berkat mereka, aku mampu membuat diriku keluar dari zona nyaman yang selama ini membatasi kehidupanku. Dan berkat mereka, aku mampu menulis cerita ini.
Aku merasa sangat beruntung berada pada posisi ini. Walau sebelumnya aku kehilangan beberapa dari mereka di masa lalu, tapi aku berhasil menemukan pengganti dari mereka yang pergi.
“People come and go. Ada saatnya seseorang pergi meninggalkan dan ada saatnya seseorang datang menggantikan yang pergi.” – If You Know Who.

Satu minggu-ku yang berharga dan penuh kenangan. Satu minggu-ku yang takkan terjadi untuk kedua kalinya. Satu minggu-ku yang akan tersimpan rapi dalam ingatanku. Terimakasih karena mampu membuatku menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Terimakasih karena telah menerimaku sebagai bagian dari hidup kalian. Terimakasih karena telah menerima tanpa menghakimi. Terimakasih teman-teman 98–Komodo Gokil, teman-teman 91–Aweu Joss!!, teman-teman 11–PKKM, dan teman-teman 18–Nicholo Machiavelli. Terimakasih juga untuk kakak pendamping, Mas Galang, Kak Amril, Mas Yoga, dan pendamping terbaik Kak Sabil, terimakasih untuk pengalaman dan yang lainnya. Terimakasih telah menjadi bagian dari proses hidupku. See you on top, guys!!




Kelompok 98 – Komodo Gokil




Kelompok 91 – Aweu Joss!!


Kelompok 11 – PKKM


Kelompok 18 – Nicholo Machiavelli
(Not a full team)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Kita, Cerita Kita

“Kamu, tuh, pembohong terbaik di seluruh dunia. Kamu bisa bohong ke semua orang, tapi engga ke aku. Kamu itu rapuh, itu yang bikin aku ada disini buat jagain kamu.” – A.S. Sehebat apapun aku menyembunyikan suatu hal, kamu selalu berhasil mengetahuinya. Membuatku tidak pernah sanggup berbohong kepadamu, termasuk perihal perasaanku. Terkadang aku benci saat kamu bisa membaca semuanya secara tepat, membuatku tidak mempunyai celah untuk berbohong. Kamu selalu bisa membuatku tidak berani menatap mata elangmu itu. Kamu selalu punya cara untuk membongkar semuanya. Tigabelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita. Banyak hal baru yang kita lakukan bersama. Banyak kenangan indah yang kita buat bersama. Banyak kenyataan menyakitkan yang kita rasakan bersama. Dulu, saat keadaan belum sedekat ini, kamu adalah laki-laki pertama yang aku benci di hidupku. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang belajar berjalan. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang bermain. Kamu selalu saja mengangguku.

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....