“Kamu, tuh, pembohong terbaik di seluruh dunia. Kamu
bisa bohong ke semua orang, tapi engga ke aku. Kamu itu rapuh, itu yang bikin
aku ada disini buat jagain kamu.” – A.S.
Sehebat apapun aku menyembunyikan suatu hal, kamu
selalu berhasil mengetahuinya. Membuatku tidak pernah sanggup berbohong
kepadamu, termasuk perihal perasaanku. Terkadang aku benci saat kamu bisa
membaca semuanya secara tepat, membuatku tidak mempunyai celah untuk berbohong.
Kamu selalu bisa membuatku tidak berani menatap mata elangmu itu. Kamu selalu
punya cara untuk membongkar semuanya.
Tigabelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita.
Banyak hal baru yang kita lakukan bersama. Banyak kenangan indah yang kita buat
bersama. Banyak kenyataan menyakitkan yang kita rasakan bersama. Dulu, saat
keadaan belum sedekat ini, kamu adalah laki-laki pertama yang aku benci di
hidupku. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang belajar berjalan. Kamu selalu
mengangguku saat aku sedang bermain. Kamu selalu saja mengangguku. Aku sangat
membencimu.
Namun, waktu seolah mempermainkanku, kamu yang
selalu ada membuatku sadar bahwa aku ingin kamu selalu ada, aku ingin kamu
selalu ada disini untuk mengangguku. Kamu tidak pernah lelah, kamu tidak pernah
mengeluh, tapi kamu selalu menggerutu saat aku sedang asyik dengan permainanku.
“Percuma aku disini kalo ngga dianggep sama kamu.
Aku pulang aja, lah.”, ucapmu kala itu.
Kamu selalu berhasil membuatku tersenyum saat harus
mengenangmu, mengenang semua tentang kita. Ah, aku merindukan senyumanmu.
Senyuman yang mampu membuat semua wanita meleleh dibuatnya. Aku lupa kapan
terakhir kali kamu tersenyum kepadaku. Tapi yang jelas aku merindukannya
sekarang.
Tumbuh bersamamu selama itu, membuatku mengenal
banyak hal tentang kamu. Kamu yang sangat menyukai kopi hitam pekat tanpa gula,
kamu yang tidak bisa tidur jika belum dipeluk Ibu, kamu yang sangat
tergila-gila dengan basket, kamu yang menjadi manja saat sakit, kamu yang
selalu memberiku martabak cokelat keju saat aku sedang marah, kamu yang rela
hujan-hujanan hanya untuk datang ke rumahku dan memelukku saat aku menangis.
Kamu, mengingatmu adalah salah satu hal yang aku suka.
Mengenalmu selama lebih dari satu dekade, membuatku
mengerti arti kesetiaan. Kesetiaan sebagai teman, sebagai sahabat, sebagai
keluarga, dan juga sebagai kakak. Aku belajar banyak hal darimu, dari bicaramu,
dari tingkahmu. Aku tidak akan meminta pada Tuhan untuk membuat kita tetap
seperti ini. Aku hanya ingin kita sama-sama berusaha untuk mempertahankan ini
semua.
Aku tidak pernah berpikir bahwa kedekatan kita mampu
menumbuhkan benih-benih rasa yang tidak kumengerti sebelumnya. Aku berusaha
mengabaikannya kala itu, pasti hanya perasaan sesaat, pasti hanya bagian dari
masa pubertas yang aku alami, pasti hanya rasa biasa milik bocah ingusan
sepertiku, tapi nyatanya aku salah. Rasa itu semakin besar dan semakin menjadi
saat kamu pun juga merasakannya.
Kamu mengakui perasaanmu dan aku juga begitu.
Mulanya semua berjalan lancar, hingga suatu hari aku merasakan takut yang luar
biasa. Aku takut jika hubungan ini terputus, aku harus kehilanganmu. Aku takut
jika hubungan ini berakhir, kamu akan meninggalkanku. Ternyata ketakutanku tidak
terwujud, ketakutanku tidak pernah terjadi. Kamu tetap menjadi orang yang aku
kenal. Kita masih sama, berakhirnya hubungan kita tidak membuat apapun berubah.
Aku sangat bersyukur. Bersyukur karena kita masih menjadi orang yang sama.
Sejak saat itu, kamu memutuskan untuk membuat
perjanjian tidak tertulis. Perjanjian yang sangat konyol untuk anak seusia
kita. Perjanjian yang masih aku ingat sampai detik ini. Perjanjian yang selalu
aku dan kamu lakukan. Eum, sepertinya banyak yang penasaran dengan perjanjian
ini. Biarkan aku mengatakan apa isi perjanjian itu.
“Isi perjanjian dua anak manusia yang saling
menyayangi:
1.
Satu sama lain
harus saling kasih tahu kalo mau nembak atau nerima seseorang.
2.
Satu sama lain
harus minta izin sebelum nembak atau nerima calon pasangan.
3.
Ngga boleh ada
apel di hari minggu. Hari minggu harus tetep jadi quality time buat kita.
Perjanjian selesai.”
Aku ingat sekali, kamu mengatakan itu dengan lantang
dan wajah yang sangat serius. Aku tertawa membayangkannya. Kamu memang selalu
pandai membuatku tertawa. Tingkahmu yang tidak pernah ada habisnya selalu
membuatku penasaran, apalagi yang akan kamu lakukan untukku.
Pernah suatu ketika kamu meminta izin untuk
menyatakan perasaanmu pada seseorang. Awalnya aku senang, sebelum aku
mengetahui siapa wanita beruntung itu. Tapi ternyata dia adalah sepupuku
sendiri. Bagaimana mungkin kamu menyukai sepupuku? Aku pun menyetujuinya dan
kamu menyatakan perasaanmu padanya. Sangat disayangkan, hubungan itu tidak
berlangsung lama. Mungkin restuku tidak benar-benar tulus. Hahaha.
Ah, berhenti bicara soal cinta. Aku sudah mual. Apa
kamu ingat? Kamu pernah menangis di depan kamarku karena aku marah padamu. Eum,
sebentar, saat itu kita berumur sepuluh tahun, sepertinya. Kamu menangis
meminta dibukakan pintu dan aku hanya tertawa geli di dalam kamar, membayangkan
bagaimana jeleknya wajahmu saat menangis. Saat rasa puas sudah aku dapat, aku
pun membuka pintu dan terkejut dengan tingkahmu yang langsung memelukku. Kamu
selalu begitu saat aku marah, seakan-akan itu semua mampu membuatku luluh. Masa
kecil yang jauh dari kata normal.
Tiga tahun lalu, saat aku dijauhi oleh semua orang,
saat aku merasa sendiri, kamu selalu setia di sampingku. Rela tidak pulang
hanya untuk menemaniku hingga aku tidur. Rela membolos demi mengantarku ke
sekolah, meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Maafkan aku karena
selalu merepotkanmu.
Jarak yang jauh tidak pernah menjadi penghalang
untuk kita. Kamu selalu berusaha untuk datang saat aku meminta. Aku pun sama,
berusaha dengan cara apapun agar aku bisa kesana. Tidak ada yang kita lakukan,
hanya duduk berdua, menikmati semilir angin yang datang. Menyalurkan semua rasa
lewat keheningan. Hal itu yang membuatku mengerti satu hal, terkadang ada
beberapa hal yang tidak perlu dikatakan, rasakan saja, itu sudah cukup. Karena
bagiku, perasaan tidak pernah salah, tidak pernah menghakimi, berbeda dengan
kata-kata. Sial, aku rindu masa-masa itu.
Selalu baik-baik saja bukan berarti jauh dari
perdebatan. Seringkali kita berdebat tentang hal-hal yang tidak penting.
Berdebat tentang siapa yang akan membayar uang parkir, berdebat tentang siapa
yang harus berkunjung minggu ini, berdebat tentang kamu yang selalu membuang
uang hanya untuk membeli sepatu impianmu, berdebat tentang aku yang selalu lupa
denganmu jika aku bertemu novel-novel kesayanganku, berdebat tentang apa yang
harus kita pakai kali ini. Banyak sekali perdebatan-perdebatan aneh yang
berujung pada kamu yang mengalah karena tidak sanggup melunakkan sifat keras
kepalaku ini.
Semua itu terjadi begitu saja, tanpa pernah
direncanakan, tanpa dipikirkan. Kita, sepasang anak manusia aneh yang berjanji
akan selalu bersama. Walaupun dengan jalan hidup masing-masing. Walaupun dengan
mimpi yang berbeda. Walaupun dengan harapan dan tujuan yang berbeda. Selamanya,
akan tetap seperti ini. Aku akan tetap menjadi gadis yang kamu kenal dan kamu
akan tetap menjadi laki-laki yang aku benci. Eh, maksudku, kamu akan tetap
menjadi laki-laki yang aku kenal.
Komentar
Posting Komentar