Langsung ke konten utama

Purnama Bulan Desember

“Karena emang sesungguhnya, kalo lo mencintai orang yang ngga mencintai lo, itu sama aja kaya lo meluk kaktus. Semakin lo sayang sama dia, lo malah akan semakin sakit.”Helter Skelter.

Suara ketukan di jendela kamarku semakin keras seakan mengikuti alunan lagu Sunshine After The Rain milik Alexander yang aku dengarkan lewat earphone kesayanganku. Suara tidak teratur itu sungguh menganggu ketenanganku. Bukan sekadar suara ketukan jendela saja, tapi suara dibalik ketukan itu lah yang mampu mengacaukan perhatianku. Hft, dia lagi.
“Senja, woy!! Ini gue, cepet keluar.”
Ya, si penganggu itu adalah sahabatku. Entah sejak kapan aku bisa bersahabat dengan makhluk abstrak seperti dirinya. Satu yang kuketahui pasti, orang yang kusebut makhluk abstrak ini adalah laki-laki pertama yang mampu masuk ke dalam hatiku bahkan lebih dalam dari yang aku pinta. Aku tidak mengerti hal apa yang mampu membuatku menaruh hati padanya. Dan ya, seperti kisah persahabatan klasik lainnya, dia tidak pernah tahu apa isi hatiku.
“Brisik ah, udah malem. Pulang sono!!”, aku melepas earphone milikku.
“Keluar dong, temenin gue. Kita liat purnama bareng.”, dia berusaha merayuku dengan hal yang aku sukai. Bagaimana mungkin aku menolak melihat purnama yang hanya bisa kulihat setiap satu bulan?
Tanpa menjawab, aku keluar dan menemuinya dengan wajah yang sedikit ditekuk. Sungguh menyebalkan, selalu saja begitu. Datang tanpa ku pinta lalu pergi seenaknya seakan tidak terjadi apa-apa. Aku semakin kesal saat melihatnya tersenyum tanpa ada rasa bersalah karena telah mengangguku. Hft, benar-benar makhluk abstrak.
“Yuk, duduk di teras. Kita liat purnama yang lo suka. Malem ini keliatan banget purnamanya.”
Dia menggamit tanganku dan mengajakku ke teras rumah. Seakan terbawa suasana, kepakan sayap kupu-kupu sangat kentara di perutku, mengocok perut yang terasa geli akibat sentuhan fisik yang sederhana ini. Oh tidak, aku selalu lemah bila berurusan dengan hal yang bernama perasaan.
“Senja, kenapa sih, lo addicted banget sama Bulan? Kenapa ngga sama artis korea, boneka, make up, yaa yang kaya cewe-cewe normal gitu, lah. Kenapa Bulan harus seistimewa itu di mata lo?”, aku memperhatikan setiap gerak tubuhnya dan tanpa aku sadari, sebuah lekukan Bulan sabit bertengger di bibirku, lagi.
Bukan pertama kalinya pertanyaan ini terlontar dari mulutnya, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan kali pertanyaan semacam ini muncul dipikirannya. Dan jawabannya pun selalu sama.
“Karena aku salut sama Bulan, dia sabar banget nungguin dirinya jadi bulat sempurna pas purnama dateng dan jadi secantik sekarang ini. Bulan ngga pernah ngeluh sama hal apapun. Termasuk ketika ia sendiri, saat ngga ada Bintang di sisinya, Bulan sedih tapi sinar Bulan ngga pernah redup. Bukan cuma itu, Bulan selalu sabar buat ketemu sama Matahari. Mau berapa puluh tahun pun itu, Bulan bakal tetep nunggu Matahari, walau waktunya ngga pernah pasti.”, aku memejamkan mata sembari tersenyum. Aku harus menyatakan perasaanku malam ini, aku tak bisa memendamnya lebih lama lagi. Kueratkan genggaman tanganku, lalu menarik napas dalam-dalam.
Aku melanjutkan perkataanku, “Sama sepertiku, aku adalah Senja yang tak pernah lelah menunggu Fajar datang. Aku adalah Senja yang tak pernah mengeluh untuk menanti kehadiran Fajar. Senja akan selalu menunggu Fajar berbalik, menatap ke arahnya lalu tersenyum untuk Senja.”
Suasana mendadak hening, aku tidak lagi berkata, begitupun Fajar. Kalian benar, Fajar yang kumaksud adalah sahabatku. Aku merasa seseorang sedang mengamatiku, dan benar saja wajah Fajar kini tepat di depan wajahku. Seketika aku menjadi gugup saat menatap bola matanya yang indah itu.
“Fajar yang lo maksud itu, bukan gua, kan?”
Hft. Aku menghembuskan napas kasar. Sepertinya aku salah mengungkapkan semua ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah memulainya dan harus segera mengakhirinya.
“Apa ada Fajar lain yang aku kenal selain kamu?”, kuberanikan diri untuk menatap matanya.
Diam-diam aku merutuki keberanianku. Malam ini aku tidak bisa mengontrol perasaanku sendiri, sungguh hal yang fatal bagiku. Dan lagi, hanya hening yang menemani percakapan kita. Cukup sudah, aku tidak tahan dengan semua ini.
“Kamu kenapa diem?”, aku menyenggol lengannya. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu, kedua alisnya berkedut, tipikal Fajar saat sedang berpikir. “Fajar iiihh, ngomong dong. Jangan diem aja.”
Hening. Masih belum ada jawaban. Lalu, sepuluh detik kemudian tawa kencang keluar dari mulutnya.
“Senja, Senja, lo kalo mau becandaan yang bagus dikit napa. Klise banget, sok mellow lagi. Bukan lo banget, dah. Hahaha. Ngakak gue.”, ucap Fajar disela tawanya.
“Lo kalo mau becandaan.”
“Mau becandaan.”
“Becandaan.”
“Canda.”, aku terus mengulang bagian ini di dalam hati.
Apa sikapku tadi pantas disebut sebagai sebuah candaan? Menghadapi Fajar yang sulit serius memang melelahkan, bahkan dalam suasana seperti sekarang pun, ia tetap menganggap itu sebagai candaan semata.
“Hahaha.”, aku berusaha mengimbangi tawanya. Mungkin bisa sedikit mencairkan suasana. “Ketebak banget becandanya, ya? Yah, padahal pengin bikin kamu baper. Hahaha.”
Lihatlah, aku pandai membohongi diri sendiri, bukan? Mungkin lebih baik seperti ini, tak ada rasa dalam persahabatan kami. Lebih baik seperti ini, berpura-pura tak apa meski sebenarnya terluka.
Bodoh. Aku sungguh bodoh. Purnama indah di Bulan Desember hampir saja rusak karena kebodohanku. Purnama yang aku tunggu selama ini, hampir saja sirna karenaku. Aku menatap langit gelap dimana Bulan berada. Seakan ikut merutuki kebodohanku, aku melihat langit tersenyum lalu ia berkata...

“Mau sampai kapan pun kamu menunggu, Senja dan Fajar tidak akan pernah bersatu karena kalian bukanlah Bulan dan Matahari yang dipertemukan saat gerhana tiba. Biarlah Fajar mencari kisahnya sendiri diantara kabut pagi. Relakan dia untuk pagi yang selalu menunggunya. Begitupun kamu, langit sore selalu setia disampingmu tanpa kamu sadari. Beri dia kesempatan untuk menjadi yang terbaik bagimu. Dekati dan berikan senyummu untuknya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru

“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse. Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu. Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku. Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin be

Tentang Kita, Cerita Kita

“Kamu, tuh, pembohong terbaik di seluruh dunia. Kamu bisa bohong ke semua orang, tapi engga ke aku. Kamu itu rapuh, itu yang bikin aku ada disini buat jagain kamu.” – A.S. Sehebat apapun aku menyembunyikan suatu hal, kamu selalu berhasil mengetahuinya. Membuatku tidak pernah sanggup berbohong kepadamu, termasuk perihal perasaanku. Terkadang aku benci saat kamu bisa membaca semuanya secara tepat, membuatku tidak mempunyai celah untuk berbohong. Kamu selalu bisa membuatku tidak berani menatap mata elangmu itu. Kamu selalu punya cara untuk membongkar semuanya. Tigabelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita. Banyak hal baru yang kita lakukan bersama. Banyak kenangan indah yang kita buat bersama. Banyak kenyataan menyakitkan yang kita rasakan bersama. Dulu, saat keadaan belum sedekat ini, kamu adalah laki-laki pertama yang aku benci di hidupku. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang belajar berjalan. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang bermain. Kamu selalu saja mengangguku.