Langsung ke konten utama

Sebuah Mimpi

“Tidak harus dengan meraih cita-cita untuk menyenangkan orang yang kita sayangi, bukan?”Nadya Wulandari.
Hari demi hari berhasil dilewati dengan tawa, air mata, amarah, dan masih banyak rasa lainnya. Hidup memang selalu seperti itu, akan ada grafik yang bergerak tak tentu setiap harinya. Grafik yang sebenarnya bisa kita atur sesuka hati bila kita mengerti apa yang kita mau. Di hari terakhir tahun 2017, saya hanya ingin mengutarakan sebuah proses yang saya lalui di tahun ini. Tentang arti sebuah kesabaran, keikhlasan, kekuatan, yang tentunya telah saya alami belakangan ini. Tahun 2017 bisa dibilang adalah tahun yang paling kompleks bagi saya, jiwa dan raga saya diuji habis-habisan tanpa menyisakan jeda sedikitpun.
Perjalanan tahun ini diawali dengan kesibukan saya dalam menyiapkan ujian-ujian yang tidak lama lagi berlangsung serta dilema yang saya rasakan terkait kemana saya akan pergi setelah saya tamat SMA. Beberapa universitas sudah menyosialisasi mengenai tempat mereka menimba ilmu, hal itu yang membuat dilema saya semakin menjadi. Saat saya ditanya, “Berminat di Univ X?”, saya hanya bisa tersenyum pilu. Tidak ada universitas yang buruk, itu semua tergantung pada mahasiswa itu sendiri. Saya selalu bingung bila ditanya universitas mana dan jurusan apa yang akan saya ambil. Seharusnya semua terasa mudah, saya bisa saja memilih apapun yang saya suka, hanya saja itu sebatas “seharusnya” yang pada akhirnya berakhir dengan “mana aja”.
Triwulan pertama saya disibukkan dengan berbagai persiapan ujian, mulai dari latihan soal, try out, simulasi ujian, ujian sekolah, USBN, dan segala hal yang berbau ujian lainnya. Saya merasa penat dan frustasi dengan rutinitas yang tiada hentinya. Setiap kali saya menyelesaikan satu tugas, akan munculnya tugas lainnya. Hampir setiap saat saya mengeluh, dan hal ini yang membuat pekerjaan saya terasa semakin berat. Kemudian saya menyadari, apa yang saya lakukan adalah salah, mengeluh tidak akan menyelesaikan semua ini. Saya pun akhirnya berhasil survive dan memotivasi diri saya bahwa saya bisa melewati ini, saya mampu melakukan yang terbaik untuk diri saya sendiri. And yeah, i did it, saya berhasil dan hasil yang saya dapatkan cukup sepadan dengan usaha saya selama ini.
Selanjutnya di bulan keempat, dua hari setelah peringatan hari Kartini, saya genap berusia 17 tahun. Saat dimana saya bertransisi dari remaja menuju dewasa. Mungkin, bagi yang lain, saat-saat seperti ini pantas dirayakan karena tidak akan terulang lagi, tapi bagi saya, diusia 17 ini, saya diajak merenung oleh waktu. Merenungkan segala hal yang telah saya lakukan selama ini, bagaimana efeknya pada orang lain; pada diri saya sendiri, apakah saya sudah bermanfaat bagi banyak orang. Saya terus merenung hingga saya mengetahui jawaban dari beribu pertanyaan yang muncul di pikiran saya. Bila kalian ingin tahu apa jawabannya, maka jawabannya adalah TIDAK. Apa yang saya lakukan selama 17 tahun ini tidak ada apa-apanya dan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya saya lakukan. But I will keep trying to be even better, I will explore everything that is in me so that later can be useful for everyone.
Ternyata benar, harapan yang kita buat terlalu tinggi akan terasa sangat menyakitkan saya dijatuhkan begitu saja, dan itu terjadi pada saya. Saya dijatuhkan dengan harapan yang saya bangun sendiri. Ya, untuk pertama kalinya saya gagal. Saya gagal membuat orang tua saya bahagia, gagal membuat orang tua saya tersenyum, gagal membuat orang tua saya menangis bahagia, saya gagal. Bukan hanya harapan saya saja yang ikut runtuh, harapan mereka pun mau tidak mau harus ikut dijatuhkan. Bagaimana mungkin saya tega melihat harapan orang tua saya hancur begitu saja dan itu karena saya sendiri? Bisa dikatakan saya sangat frustasi saat ini, beberapa teman saya yang melihat secara langsung mungkin sudah menyadarinya, hanya saja saya berusaha untuk menutupinya. Namun, kesendirian membuat benteng yang saya bangun dengan susah payah runtuh begitu saja. Saya menangis, saya menyalahkan diri saya, saya merasa bodoh, saya gagal. Semesta pun sepertinya turut mengiringi kegagalan saya, ia tidak memberi satu sandaran pun, ia tidak meminjamkan bahu seseorang untuk saya peluk meski hanya sekejap. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, separuh jiwa saya lenyap seiring dengan tatapan sendu dan raut kekecewaan dari kedua orang tua saya.
Perjalanan hidup masih terus berlanjut, banyak kejutan-kejutan kecil yang mengiringi kejutan utama. Kali ini, perpisahan adalah bagian yang harus saya lalui. Setelah tiga tahun bersama, dalam suka maupun duka. Saya harus dipisahkan oleh waktu dengan teman-teman hebat saya, dengan mereka yang sudah mengisi masa putih abu-abu saya. Kenyataan pun semakin menyadarkan saya akan perpisahan. Satu persatu mereka pergi bersama mimpinya, meninggalkan saya disini yang tidak tahu harus ke arah mana. Bukan hanya itu, entah saya yang terlalu pemikir dan perasa, atau mungkin waktu yang telah mengubah segalanya, ada beberapa hal yang tidak saya kenali dalam diri mereka. Perlahan tapi pasti, sifat-sifat yang mereka yang saya kenal seperti menguap seiring dengan proses kedewasaan mereka. Bagian dari kehilangan ini lah yang paling menyakitkan. Mengenal, seolah asing. Dekat, seolah jauh. Mengerti, seolah tidak.
Sepertinya, tahun ini adalah tahun dimana segalanya tanpa kebahagiaan berlebih, selalu saja ada yang terasa kosong, dan saya tidak tahu apa sebabnya. Hari raya kali ini tidak ada yang spesial, saya tidak pergi ke tempat yang wajib saya kunjungi, saya tidak ke tempat paling menguras emosional itu. Semua benar-benar terasa kosong, meski saya melihat beribu-ribu senyuman, rasanya tetap sama. Terlebih saat saya melihat senyuman Ibu, senyuman yang menyiratkan kekecewaan mendalam, dan saya tahu maksud dibalik senyuman itu. Saya merasakannya juga, meski saya tidak sekuat Ibu untuk menunjukkan wajah dalam senyuman pada setiap orang. Ya, memang tidak ada yang spesial.
Tahun ini menjadi tahun yang sangat berkesan saat seseorang berhasil mewujudkan satu-satunya impian yang tidak pernah seorang pun berusaha mewujudkan. Beliau mengizinkan saya untuk bertemu orang yang paling saya kagumi dan saya cintai setelah Ibu. Pertemuan yang selama tiga tahun ini selalu saya dambakan. Ini bukan perihal jarak, materi, atau apapun, ini tentang sebuah ketulusan untuk membantu menyatukan cinta seorang gadis pada pahlawannya. Pertemuan kami sangatlah priceless, saat-saat itu tidak akan pernah bisa saya lupakan. Saya terus mengajak beliau bicara, memberi tahu apa yang selama ini saya lewati tanpa beliau, membagi rasa sakit saat saya gagal menjadi yang terbaik bagi semua orang. Ya, saya melakukannya, meski saya tahu hanya hening yang menjadi jawabnya. Gejolak di hati saya semakin membuncah, saya tidak bisa lagi menahan segala rasa rindu pada beliau. Saya teramat sangat rindu pada setiap hal yang pernah saya lakukan bersama beliau, sangat.
Setelah melewati kegagalan berulang kali, saya memutuskan untuk menyerah. Saya memilih jalan terakhir yang bisa saya ambil, tidak peduli mau bagaimana hasilnya, akan seperti apa saya ke depannya. Banyak orang yang bertanya mengapa tidak mencoba keluar dari zona yang selama ini mengikat saya, mengapa tidak mencoba berlari dan menggapai segala hal yang seharusnya bisa menjadi milik saya. Saya memilih untuk tidak melakukannya karena saya tidak ingin memperburuk suasana. Cukup mimpi saya saja yang harus hancur, jangan sampai karena keegoisan saya, orang lain pun turut hancur dibuatnya. Saya tidak lagi peduli dengan mimpi yang saya punya, kini tujuan saya hanya menukarkan rasa kecewa orang tua saya, menjadi rasa bahagia. Ternyata apa yang saya pikir menjadi akhir dari semuanya, justru menjadi awal dari hidup saya ke depannya. Untuk kali ini, Tuhan mengizinkan saya untuk membuktikan pada semua yang merendahkan saya, yang mencemooh saya, yang meremehkan saya, bahwa saya mampu menjadi apa yang mereka mau dengan jalan saya sendiri. Saya berhasil mewujudkan mimpi kedua orang tua saya tepat disaat saya sudah menyerah dan pasrah. I believe it, tidak ada proses yang mengkhianati hasil. Apa yang saya dapat saat itu, adalah hasil dari segala pengorbanan dan air mata. Kalian tahu, apa mimpi yang berhasil saya wujudkan itu? Saya berhasil masuk di universitas yang Ayah idam-idamkan selama ini. Tempat dimana saya harus menimba ilmu hingga beberapa tahun ke depan. Iya, saya tahu, itu bukan tempat impian saya, bukan juga jurusan yang saya mau. Tapi bukankah akan lebih menantang bila keluar dari zona nyaman? Tidak selamanya mimpi harus diwujudkan, bukan? Meskipun akan terasa sulit, ditambah dengan omongan negatif dari orang-orang, bahkan teman-teman terdekat, tapi saya tidak peduli. Apa yang saya pilih, apa yang saya jalani, ini semua untuk kebahagiaan orang tua saya.
Tidak sedikit orang yang bertanya, “Kenapa ngga masuk Psikologi? Kamu cocok, lho.” atau “Kok ngga ambil sastra asing? Bukannya dulu pengin banget masuk sana?”. Saya tahu, itu adalah bagian dari mimpi saya, tapi untuk apa saya mengejar mimpi yang tidak mendapat ridho orang tua? Lebih baik saya melepasnya dan melanjutkan hidup saya dengan semua yang serba baru. Di awal proses saya melakoni ini semua, saya merasa sangat buta, tidak ada satu hal pun yang saya mengerti. Saya merasa seperti orang paling bodoh diantara semua teman saya. Mungkin itu hanya sebagian proses yang harus saya nikmati, tidak apa, saya yakin saya bisa melewatinya. Waktu yang akan membantu saya hingga akhir nanti.
Saya adalah pribadi yang sangat insecure terhadap semua hal baru, seperti lingkungan baru dan orang baru. Itu yang saya rasakan saat bertemu dengan teman-teman baru di kampus. Selalu ada perasaan saya lebih rendah dibanding mereka, saya tidak ada apa-apanya, saya tidak seharusnya ada disini, saya menyerah, saya tidak mengerti, dan masih banyak mindest negatif yang berkeliaran di pikiran saya. Namun, lagi dan lagi saya harus survive untuk diri saya sendiri, saya terus mencoba untuk selalu ter-connected dengan semua hal baru tersebut. Saya terus berkomunikasi dengan orang baru, mencoba memahami mereka dengan cara sendiri. Well, bagaimana hasilnya? I did it. Bukan perkara mudah saya melewati semua ini, beberapa dari mereka yang lebih dulu mengenal saya terkadang juga ikut mencemooh. Melontarkan kalimat-kalimat yang semakin membuat saya down, seperti “Kamu kan pinter omong, pasti bisa lah.”, “Ngga mungkin kamu insecure, temenmu aja dimana-dimana.”, “Hahaha, Andri insecure? Ngga mungkin, kamunya aja yang berlebihan.”, dan masih banyak lagi kalimat menohok yang mereka lontarkan. Lalu bagaimana respon saya? Saya hanya mampu menjawabnya dengan sebuah kalimat sederhana, “It means, you don’t know me so well. Aku ngga seperti apa yang kamu pikirin.”
Sebenarnya masih banyak hal yang bisa saya ceritakan, seperti apa yang terjadi saat hari pertama kuliah, momen pertama saya ikut aksi bersama sebuah organisasi, momen dimana saya berhenti menulis karena seseorang, momen pertama kejuaraan pertama saya di kampus, dan masih banyak lagi. Saya tidak ingin membuat tulisan ini semakin panjang, karena menurut saya ini adalah tulisan terpanjang saya selama saya berkelana dalam dunia blogging. Ah ya, last but not least, di peringatan hari Ibu kali ini, saya tidak merayakannya dan tidak juga mengucapkannya pada Ibu saya. Saya hanya melayani beliau sepanjang hari dan membuat minuman yang menjadi favorit Ibu saya. Tidak hanya itu, di hari Ibu ini, saya diberi kesempatan untuk mengurusi dua keponakan saya sekaligus. Sungguh rasanya sangat melelahkan, menjadi seorang Ibu adalah hal yang sangat luar biasa. Bagaimana mungkin Ibu dapat bertahan mengurus keluarga dan juga rumah tangga tanpa henti? Saya yang hanya sehari saja rasanya sudah seperti.... aah, sulit dijelaskan memang. Maka dari itu, saya sangat salut kepada perjuangan semua Ibu di dunia, terutama Ibu saya. Terimakasih karena telah bertahan untuk merawat saya yang sangat nakal ini. Terimakasih atas segala perjuangan Ibu untuk saya selama ini.

Sepertinya saya harus berhenti sampai disini, saya tidak ingin membuat kalian bosan, yaa meskipun saya tahu, dari awalpun cerita ini sudah sangat membosankan dan juga tidak menarik. Terimakasih atas segala waktu yang telah kalian buang hanya untuk membaca tulisan ini, I’m so appreciate it. Maaf atas segala tingkah laku saya selama satu tahun ini. Kepada kalian yang sudah dekat, semoga makin didekatkan walau bagaimana pun keadaannya. Kepada kalian yang kini jauh karena beberapa alasan, semoga waktu memberi kesempatan lagi untuk kita mencoba bersatu dan kembali seperti itu. Terimakasih semua. Selamat tahun baru 2018!❤❤❤

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru

“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse. Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu. Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku. Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin be

Tentang Kita, Cerita Kita

“Kamu, tuh, pembohong terbaik di seluruh dunia. Kamu bisa bohong ke semua orang, tapi engga ke aku. Kamu itu rapuh, itu yang bikin aku ada disini buat jagain kamu.” – A.S. Sehebat apapun aku menyembunyikan suatu hal, kamu selalu berhasil mengetahuinya. Membuatku tidak pernah sanggup berbohong kepadamu, termasuk perihal perasaanku. Terkadang aku benci saat kamu bisa membaca semuanya secara tepat, membuatku tidak mempunyai celah untuk berbohong. Kamu selalu bisa membuatku tidak berani menatap mata elangmu itu. Kamu selalu punya cara untuk membongkar semuanya. Tigabelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita. Banyak hal baru yang kita lakukan bersama. Banyak kenangan indah yang kita buat bersama. Banyak kenyataan menyakitkan yang kita rasakan bersama. Dulu, saat keadaan belum sedekat ini, kamu adalah laki-laki pertama yang aku benci di hidupku. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang belajar berjalan. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang bermain. Kamu selalu saja mengangguku.