“Darren mulu yang
disuapin. Gua kapan, Tan? Gua kan ponakan lu juga, pengen disuapin, pengen
dikelonin. Tante galak ngga adil, nih.”-
V.
Aku pikir melupakanmu adalah hal yang tidak terlalu
sulit, namun aku salah. Kenangan demi kenangan yang pernah kita lalui terkadang
berputar di kepalaku, memaksa untuk kembali memikirkanmu. Dan merindukanmu,
tentu saja. Aku tidak mengerti apa yang membuatmu terasa se-istimewa ini. Aneh rasanya
merindukanmu lagi dan lagi. Kamu membuatku lelah, lelah mengerjarmu yang
berlarian di pikiranku. Aku sudah lelah, kapan kamu lelah?
Aku tidak rindu sendirian, ternyata bocah kecil yang
kerap kamu cemburui juga merindukanmu. Dia rindu saat kita asyik
membicarakannya tanpa kenal waktu. Saat ini, hanya ada satu pertanyaan yang ada
dibenakku. Apakah adikmu merindukanku juga? Ah, tidak, bukan itu. Apakah adikmu
rindu dibicarakan juga? Jika aku boleh sedikit merasa percaya diri, kurasa
jawabannya iya. Pasti dia rindu saat-saat dimana telinganya terasa panas karena
sedang dibicarakan oleh kita berdua. Lihat, aku terlalu percaya diri, bukan?
Aku benci mengakui ini sebenarnya, tapi aku harus
mengatakannya. Aku tidak lagi menemukan lawan debat yang hebat dan tidak mau
mengalah sepertimu. Dan ya, aku kehilangan lawan terbaikku. Tidak ada lagi
lawan yang bisa aku ajak untuk beradu argumen. Tidak ada lagi lawan yang rela
menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berdebat denganku. Tidak ada lagi
lawan yang dengan berat hati mengalah hanya untuk membuatku senang. Pernah aku
mencoba untuk mencari, tapi yang aku dapat hanya argumen yang sifatnya “menggurui”.
Aku benci saat seseorang berlagak menggurui tanpa tahu akar permasalahannya dan
kamu tahu itu. Sempat terbesit dalam pikiranku, kita akan bertemu suatu saat
nanti dan kembali berdebat dengan sengitnya sampai salah satu dari kita
mengalah; mustahil sekali aku rela mengalah untukmu. Jangan terlalu dipikirkan,
itu hanyalah keinginan liarku saja.
Beberapa bulan ini aku berada di titik terendah
dalam hidupku. Banyak hal yang harus aku lewati dan aku rasakan. Saat aku pikir
aku bisa melewatinya sendiri, lagi-lagi aku salah. Aku hanya bisa terpuruk
tanpa tahu caranya bangkit. Aku menyalahkan keadaan, menyalahkan diriku
sendiri. Aku berhenti menulis karena beberapa alasan; teman-temanku sempat
mempertanyakan alasan itu. Aku berhenti tersenyum karena aku sadar senyumku
tidak mampu merubah apapun. Aku berhenti menjadi diriku sendiri hingga aku
teringat perkataanmu; “Lu galau? Kalo
galau, cerita-cerita sama gua. Siapa tau bisa legaan dikit. Gini-gini gua
pendengar yang baik.” Kamu tahu, aku tertawa saat kembali mengingatnya. Kenyataannya
kehadiranmu tidak benar-benar ada. Kamu pergi saat aku butuh untuk didengar. Tapi
aku sungguh tidak apa-apa, pergi dari kehidupanku sudah menjadi keputusanmu. Siapa
yang bisa menolak? Lagi pula aku bukan siapa-siapamu. Aku hanyalah gadis kecil
yang hanya bisa mengganggu waktumu dengan perdebatan-perdebatan yang akan
terlihat aneh jika dilakukan oleh orang lain.
Lalu apa yang aku lakukan setelah itu? Aku berusaha
menghibur diriku dengan cara yang aku yakini bisa sedikit meringankan masalah
yang ada. Aku berusaha untuk kembali menulis walaupun terasa berbeda. Meskipun banyak
orang yang mengatakan bahwa menulis saat sedang gelisah bisa menghasilkan
tulisan yang lebih baik, aku tidak merasakannya. Aku melampiaskan semuanya
melalui tulisan yang aku buat. Tidak jarang aku merobek dan meremas-remas kertas
yang sudah penuh dengan tinta hitam untuk meredam semua emosi yang ada. “Lu boleh ngelakuin apapun saat emosi tapi
lu ngga boleh nyakitin diri lu sendiri.” Kalimat itu selalu menggema di telingaku saat emosiku tidak terkendali. Siapapun tahu, aku adalah orang
yang sangat tidak bisa mengontrol emosi, bahkan saat aku senang sekalipun. Kamu
juga tahu itu, kan? Ah, mengapa sepertinya kamu tahu banyak tentangku sedangkan
aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Curang sekali kamu ini.
Kamu tahu, aku masih saja harus beradu mulut dengan
adikku saat ingin menonton TV. Menyebalkan sekali rasanya, keadaan belum
berubah walaupun kamu sudah tidak bersamaku. Apakah adikmu masih saja
menyuruhmu untuk menjemputnya di rumah temannya? Apakah adikmu masih gemar
melukis abstrak di motor kesayanganmu? Astaga, aku harap adikmu yang cantik itu
masih melakukannya. Aku dengan senang hati membayangkan wajahmu yang masam dan
melakukan apa yang adikmu inginkan. Oh iya, bagaimana kabar sepupumu yang
selalu membuatmu menunggu seperti laki-laki kesepian di kantin? Menunggu selama
hampir satu jam hanya untuk membiarkan sepupumu menyelesaikan acara bergosip
dengan teman-temannya. Lalu selama kamu menunggu, kamu akan menggerutu padaku sambil
menguping apa yang mereka bicarakan. Kamu ini, memang spesies langka; sama
sepertiku, ah sepertinya rasa percaya diriku kembali muncul. Apakah semua
Penghuni Saturnus memiliki tingkah yang sama sepertimu? Atau hanya kamu?
Ingat saat hari dimana kakimu terkilir karena lawan
mainmu bertindak kasar padamu atas nama dendam dan menyebabkan kamu tidak bisa membela
tim kelasmu hingga akhir? Aku khawatir, sangat khawatir. Aku ingat bagaimana
antusiasnya kamu dalam mengikuti lomba olahraga favoritmu itu. Hanya saja lawanmu
yang pengecut itu menggunakan cara yang kekanak-kanakan. Pasti kamu kecewa,
teman-temanmu juga, yang aku salutkan darimu adalah kamu mampu menghibur dirimu
sendiri. “Gua punya temen-temen yang sama
hebatnya kaya gua. Jadi ngga mungkin lah kelas gua kalah.” Kamu ini,
benar-benar. Di detik yang sama aku tahu keadaanmu, aku langsung bertekad untuk
berjuang lebih keras lagi. Aku harus membuat tim voli kelasku menang,
setidaknya aku bisa melanjutkan perjuanganmu dengan cara yang berbeda. Seakan mengerti
dengan keadaanku yang sedang kalut karena memikirkanmu, semesta meruntuhkan
semua semangatku. Entahlah, aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku kalah,
timku kalah. Sejak saat itu, banyak pernyataan bodoh dengan kata “seandainya”
sebagai awalannya. Aku mengecewakan timku, mengecewakanmu, dan tentu saja
mengecewakan diriku sendiri. Aku benar-benar bodoh.
Aku tidak mengerti mengapa kesepuluh jariku ini
begitu lancarnya menuliskan cerita tentangmu. Padahal sebelumnya aku sudah
bertekad untuk tidak menulis lagi tentangmu, tapi aku mengkhianati diriku
sendiri. Gadis yang tidak punya pendirian memang. Aku rasa cerita tentangmu kali
ini berbeda. Tidak ada lagi rasa penyesalan atas keputusanmu yang pergi begitu
saja. Tidak ada lagi rasa kekecewaan yang dulu sempat bersarang di hati ini. Tidak
ada lagi kesedihan berarti yang aku rasakan. Aku merasa sangat ringan
menceritakanmu kali ini, seakan-akan aku sudah mengikhlaskanmu sepenuhnya. Jika
aku pikir bisa melupakanmu, maka akan aku hilangkan pikiran itu sekarang juga. Untuk
apa melupakan seseorang yang pernah hadir di hidupku? Lebih baik aku simpan
semua yang pernah terlewati di bagian yang tidak terjamah di pikiranku. Benar-benar
melupakan seseorang yang pernah ikut andil dalam hidup kita tidak akan bisa
terwujud sepenuhnya, sosok itu akan muncul secara tiba-tiba tanpa aba-aba
sebelumnya. Sama sepertimu, aku tidak akan melupakanmu, tidak akan pernah. Kamu,
Penghuni Saturnus yang sempat singgah sejenak di hidupku, dengan semua keanehan
yang kamu lakukan, aku ingin mengatakan, aku beruntung pernah diberi kesempatan
untuk berkenalan denganmu, berbagi banyak hal, saling menguatkan satu sama
lain, aku beruntung mendapatkan kesempatan itu. Aku berharap saat aku pergi ke
Anyer nanti –tempat yang katamu harus aku datangi– kita bisa dipertemukan lagi
dan memulai kembali semuanya dari awal.
Komentar
Posting Komentar