Langsung ke konten utama

Untukmu Penghuni Saturnus; Merindu Lagi

“Darren mulu yang disuapin. Gua kapan, Tan? Gua kan ponakan lu juga, pengen disuapin, pengen dikelonin. Tante galak ngga adil, nih.”- V.
Aku pikir melupakanmu adalah hal yang tidak terlalu sulit, namun aku salah. Kenangan demi kenangan yang pernah kita lalui terkadang berputar di kepalaku, memaksa untuk kembali memikirkanmu. Dan merindukanmu, tentu saja. Aku tidak mengerti apa yang membuatmu terasa se-istimewa ini. Aneh rasanya merindukanmu lagi dan lagi. Kamu membuatku lelah, lelah mengerjarmu yang berlarian di pikiranku. Aku sudah lelah, kapan kamu lelah?
Aku tidak rindu sendirian, ternyata bocah kecil yang kerap kamu cemburui juga merindukanmu. Dia rindu saat kita asyik membicarakannya tanpa kenal waktu. Saat ini, hanya ada satu pertanyaan yang ada dibenakku. Apakah adikmu merindukanku juga? Ah, tidak, bukan itu. Apakah adikmu rindu dibicarakan juga? Jika aku boleh sedikit merasa percaya diri, kurasa jawabannya iya. Pasti dia rindu saat-saat dimana telinganya terasa panas karena sedang dibicarakan oleh kita berdua. Lihat, aku terlalu percaya diri, bukan?
Aku benci mengakui ini sebenarnya, tapi aku harus mengatakannya. Aku tidak lagi menemukan lawan debat yang hebat dan tidak mau mengalah sepertimu. Dan ya, aku kehilangan lawan terbaikku. Tidak ada lagi lawan yang bisa aku ajak untuk beradu argumen. Tidak ada lagi lawan yang rela menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berdebat denganku. Tidak ada lagi lawan yang dengan berat hati mengalah hanya untuk membuatku senang. Pernah aku mencoba untuk mencari, tapi yang aku dapat hanya argumen yang sifatnya “menggurui”. Aku benci saat seseorang berlagak menggurui tanpa tahu akar permasalahannya dan kamu tahu itu. Sempat terbesit dalam pikiranku, kita akan bertemu suatu saat nanti dan kembali berdebat dengan sengitnya sampai salah satu dari kita mengalah; mustahil sekali aku rela mengalah untukmu. Jangan terlalu dipikirkan, itu hanyalah keinginan liarku saja.
Beberapa bulan ini aku berada di titik terendah dalam hidupku. Banyak hal yang harus aku lewati dan aku rasakan. Saat aku pikir aku bisa melewatinya sendiri, lagi-lagi aku salah. Aku hanya bisa terpuruk tanpa tahu caranya bangkit. Aku menyalahkan keadaan, menyalahkan diriku sendiri. Aku berhenti menulis karena beberapa alasan; teman-temanku sempat mempertanyakan alasan itu. Aku berhenti tersenyum karena aku sadar senyumku tidak mampu merubah apapun. Aku berhenti menjadi diriku sendiri hingga aku teringat perkataanmu; “Lu galau? Kalo galau, cerita-cerita sama gua. Siapa tau bisa legaan dikit. Gini-gini gua pendengar yang baik.” Kamu tahu, aku tertawa saat kembali mengingatnya. Kenyataannya kehadiranmu tidak benar-benar ada. Kamu pergi saat aku butuh untuk didengar. Tapi aku sungguh tidak apa-apa, pergi dari kehidupanku sudah menjadi keputusanmu. Siapa yang bisa menolak? Lagi pula aku bukan siapa-siapamu. Aku hanyalah gadis kecil yang hanya bisa mengganggu waktumu dengan perdebatan-perdebatan yang akan terlihat aneh jika dilakukan oleh orang lain.
Lalu apa yang aku lakukan setelah itu? Aku berusaha menghibur diriku dengan cara yang aku yakini bisa sedikit meringankan masalah yang ada. Aku berusaha untuk kembali menulis walaupun terasa berbeda. Meskipun banyak orang yang mengatakan bahwa menulis saat sedang gelisah bisa menghasilkan tulisan yang lebih baik, aku tidak merasakannya. Aku melampiaskan semuanya melalui tulisan yang aku buat. Tidak jarang aku merobek dan meremas-remas kertas yang sudah penuh dengan tinta hitam untuk meredam semua emosi yang ada. “Lu boleh ngelakuin apapun saat emosi tapi lu ngga boleh nyakitin diri lu sendiri.” Kalimat itu selalu menggema di telingaku saat emosiku tidak terkendali. Siapapun tahu, aku adalah orang yang sangat tidak bisa mengontrol emosi, bahkan saat aku senang sekalipun. Kamu juga tahu itu, kan? Ah, mengapa sepertinya kamu tahu banyak tentangku sedangkan aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Curang sekali kamu ini.
Kamu tahu, aku masih saja harus beradu mulut dengan adikku saat ingin menonton TV. Menyebalkan sekali rasanya, keadaan belum berubah walaupun kamu sudah tidak bersamaku. Apakah adikmu masih saja menyuruhmu untuk menjemputnya di rumah temannya? Apakah adikmu masih gemar melukis abstrak di motor kesayanganmu? Astaga, aku harap adikmu yang cantik itu masih melakukannya. Aku dengan senang hati membayangkan wajahmu yang masam dan melakukan apa yang adikmu inginkan. Oh iya, bagaimana kabar sepupumu yang selalu membuatmu menunggu seperti laki-laki kesepian di kantin? Menunggu selama hampir satu jam hanya untuk membiarkan sepupumu menyelesaikan acara bergosip dengan teman-temannya. Lalu selama kamu menunggu, kamu akan menggerutu padaku sambil menguping apa yang mereka bicarakan. Kamu ini, memang spesies langka; sama sepertiku, ah sepertinya rasa percaya diriku kembali muncul. Apakah semua Penghuni Saturnus memiliki tingkah yang sama sepertimu? Atau hanya kamu?
Ingat saat hari dimana kakimu terkilir karena lawan mainmu bertindak kasar padamu atas nama dendam dan menyebabkan kamu tidak bisa membela tim kelasmu hingga akhir? Aku khawatir, sangat khawatir. Aku ingat bagaimana antusiasnya kamu dalam mengikuti lomba olahraga favoritmu itu. Hanya saja lawanmu yang pengecut itu menggunakan cara yang kekanak-kanakan. Pasti kamu kecewa, teman-temanmu juga, yang aku salutkan darimu adalah kamu mampu menghibur dirimu sendiri. “Gua punya temen-temen yang sama hebatnya kaya gua. Jadi ngga mungkin lah kelas gua kalah.” Kamu ini, benar-benar. Di detik yang sama aku tahu keadaanmu, aku langsung bertekad untuk berjuang lebih keras lagi. Aku harus membuat tim voli kelasku menang, setidaknya aku bisa melanjutkan perjuanganmu dengan cara yang berbeda. Seakan mengerti dengan keadaanku yang sedang kalut karena memikirkanmu, semesta meruntuhkan semua semangatku. Entahlah, aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku kalah, timku kalah. Sejak saat itu, banyak pernyataan bodoh dengan kata “seandainya” sebagai awalannya. Aku mengecewakan timku, mengecewakanmu, dan tentu saja mengecewakan diriku sendiri. Aku benar-benar bodoh.
Aku tidak mengerti mengapa kesepuluh jariku ini begitu lancarnya menuliskan cerita tentangmu. Padahal sebelumnya aku sudah bertekad untuk tidak menulis lagi tentangmu, tapi aku mengkhianati diriku sendiri. Gadis yang tidak punya pendirian memang. Aku rasa cerita tentangmu kali ini berbeda. Tidak ada lagi rasa penyesalan atas keputusanmu yang pergi begitu saja. Tidak ada lagi rasa kekecewaan yang dulu sempat bersarang di hati ini. Tidak ada lagi kesedihan berarti yang aku rasakan. Aku merasa sangat ringan menceritakanmu kali ini, seakan-akan aku sudah mengikhlaskanmu sepenuhnya. Jika aku pikir bisa melupakanmu, maka akan aku hilangkan pikiran itu sekarang juga. Untuk apa melupakan seseorang yang pernah hadir di hidupku? Lebih baik aku simpan semua yang pernah terlewati di bagian yang tidak terjamah di pikiranku. Benar-benar melupakan seseorang yang pernah ikut andil dalam hidup kita tidak akan bisa terwujud sepenuhnya, sosok itu akan muncul secara tiba-tiba tanpa aba-aba sebelumnya. Sama sepertimu, aku tidak akan melupakanmu, tidak akan pernah. Kamu, Penghuni Saturnus yang sempat singgah sejenak di hidupku, dengan semua keanehan yang kamu lakukan, aku ingin mengatakan, aku beruntung pernah diberi kesempatan untuk berkenalan denganmu, berbagi banyak hal, saling menguatkan satu sama lain, aku beruntung mendapatkan kesempatan itu. Aku berharap saat aku pergi ke Anyer nanti –tempat yang katamu harus aku datangi– kita bisa dipertemukan lagi dan memulai kembali semuanya dari awal. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru

“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse. Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu. Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku. Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin be

Tentang Kita, Cerita Kita

“Kamu, tuh, pembohong terbaik di seluruh dunia. Kamu bisa bohong ke semua orang, tapi engga ke aku. Kamu itu rapuh, itu yang bikin aku ada disini buat jagain kamu.” – A.S. Sehebat apapun aku menyembunyikan suatu hal, kamu selalu berhasil mengetahuinya. Membuatku tidak pernah sanggup berbohong kepadamu, termasuk perihal perasaanku. Terkadang aku benci saat kamu bisa membaca semuanya secara tepat, membuatku tidak mempunyai celah untuk berbohong. Kamu selalu bisa membuatku tidak berani menatap mata elangmu itu. Kamu selalu punya cara untuk membongkar semuanya. Tigabelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita. Banyak hal baru yang kita lakukan bersama. Banyak kenangan indah yang kita buat bersama. Banyak kenyataan menyakitkan yang kita rasakan bersama. Dulu, saat keadaan belum sedekat ini, kamu adalah laki-laki pertama yang aku benci di hidupku. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang belajar berjalan. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang bermain. Kamu selalu saja mengangguku.