Hai, Penghuni Saturnus!
Maaf jika aku menceritakanmu lagi dan lagi. Ini
ceritamu yang keempat, benar? Cerita tentangmu begitu panjang dan sedikit
rumit. Aku sendiri yang berjanji tidak akan menceritakanmu lagi, tapi aku juga
yang mengkhianatinya. Bukankah janji memang dibuat untuk diabaikan? Atau yang
lebih parah, dilupakan? Jika orang lain boleh melakukannya, mengapa aku tidak?
Aku tidak mengerti mengapa aku masih belum tenang memikirkan tentangmu. Sedangkan
bisa saja aku bersikap seolah tidak peduli dan tidak pernah terjadi apa-apa
antara kita berdua. Namun sepertinya, jiwaku berpihak kepadamu. Mereka selalu
ingin mengingatmu, mengenang semua yang ada. Aku tidak mengerti, sungguh tidak
mengerti. Bisakah kamu menjelaskannya padaku, Va-no?
Kamu bilang rindu itu berat. Ya, harus kuakui, rindu
memang berat, sangat berat. Bahkan aku tidak mengerti apa yang membuatku
merindukanmu– selalu. Aku sudah berusaha untuk tidak mengindahkan rindu ini.
Tapi semakin aku menampik, semakin aku merindukanmu. Sudah aku katakan
sebelumnya, aku tidak mengerti apa yang salah dengan diriku. Penghuni Saturnus
yang kukenal selama duapuluh satu hari berhasil meruntuhkan benteng rinduku
yang sudah aku bangun dengan sangat kokoh. Banyak diantara mereka yang membaca
cerita ini bertanya, sebegitu rindukah aku kepadamu. Huh, bahkan aku tidak tahu
apa rindu masih menjadi kata yang pantas untuk menggambarkan keadaan ini. Aku
sudah mencoba semua. Aku lakukan semua hal yang bisa membuatku tidak
memikirkanmu; setidaknya untuk sementara waktu. Daya pikatmu yang terlalu kuat
membuatku gagal setiap kali aku mencobanya. Aku sungguh tidak mengerti. Aku
selalu bertanya mengapa, mengapa, dan mengapa, namun jawab tak kunjung aku
dapatkan.
Jika kamu berhasil menjaga adik kesayanganmu dengan
baik, maka kamu juga berhasil menjaga rinduku ini dengan baik; sangat.
Ketidakhadiranmu terasa semu, aku selalu merasa kamu ada disini. Terlebih lagi
saat adzan berkumandang, kehadiranmu semakin nyata. “Kalo adzan tuh diem, dengerin orang adzan.” Kamu ingat kalimat
itu? Seakan tidak ingin melewatkan kesempatan yang ada, aku selalu menutup
mataku setiap kali suara itu muncul. Merasakan setiap getaran dan kejutan kecil
seperti listrik yang merasuk ke dalam jiwa ini. Tenang, itu yang aku rasakan. Tidak
jarang senyum tipis datang dengan sendirinya saat merasakan ketenangan ini.
Bagaimana kabarmu sekarang? Rinduku bukan hanya
perihal kamu. Aku rindu pada Ayahmu yang gemar minum kopi, sama sepertimu. Aku
rindu pada tantemu yang sangat memanjakanmu. Aku rindu pada teman perempuanmu
yang notabene adalah mantanmu yang kini menjadi teman baikmu. Aku rindu pada
keseruan teman-teman sekelasmu yang sering kamu ceritakan. Aku rindu masa-masa
itu. Dimana kamu tidak bisa berhenti menceritakan dengan rinci setiap kejadian
yang terjadi. Dimana kamu dengan semangat bercerita perihal Ayahmu yang kamu
anggap seperti sahabatmu sendiri. Sungguh, rinduku pada itu semua sudah tidak
terukur besarnya. Andai kamu menghilang tanpa tanya, sudah kupastikan rinduku
takkan sebesar ini. Andai kamu memberiku isyarat sebelumnya kamu akan
pergi. Bukan dengan cara yang tiba-tiba seperti ini. Andai hanyalah andai.
Harapan yang kubuat terlalu tinggi, hingga aku lupa bahwa dalam diriku masih
ada rasa kecewa yang bisa muncul kapanpun.
Ada seorang teman yang bertanya padaku, “Kalo tiba-tiba ketemu Penghuni Saturnus,
gimana?” Bukan jenis pertanyaan yang ingin aku jawab sebenarnya, hanya saja
setiap tanya tentu membutuhkan sebuah jawaban, bukan? Lalu apa jawabanku saat
itu?
“Aku ngga bakal
ngungkit yang dulu-dulu, justru bakal seneng banget kalo ketemu. Pengin kenalan
lagi dari awal, pengin meluk juga. Pengen nyuruh dia baca Penghuni Saturnus
langsung di depanku terus minta tanggapannya. Pengin bilang makasih secara
langsung buat semuanya, buat kenangannya, buat ceritanya, buat rinduku ke dia.”
Ya, itu jawabanku. Menggambarkan semua rasa yang
ada, bukan? Aku ingat, kamu selalu memberitahuku jika kamu akan pergi ke suatu
tempat, bahkan hanya pergi ke ujung jalan untuk membeli sebungkus nasi goreng
pun, kamu pasti memberitahuku. Mungkin aku yang terlalu percaya diri atau apa,
tapi aku merasa, aku merasa diprioritaskan olehmu. Kamu memberiku kabar seakan
tidak ingin membuatku menunggu terlalu lama. Kamu memberitahuku jika kamu tidak
bisa membalas pesanku hari itu. Kamu memberitahuku beberapa hal kecil yang
bahkan tidak seharusnya aku ketahui. Bukankah rasanya aku seperti seseorang
yang spesial untukmu? Ah, aku terlalu percaya diri untuk itu. Tidak perlu
dipikirkan karena memang bukan hal penting yang harus dipikirkan. Aku harap
jika suatu hari nanti kamu membacanya –kuharap bukan hal yang mustahil–, kamu
tidak lantas menertawakanku. Sungguh, aku akan sangat malu bila kamu membaca
semua ini.
Sudah, cukup. Aku tidak ingin menceritakanmu lebih
banyak lagi. Cukup, aku enggan berurusan dengan rumah sakit jiwa hanya karena
memikirkanmu. Tidak, aku tidak ingin menjadi gila karenamu. Aku mohon, siapapun
yang membaca ini. Tolong, tolong hentikan kebiasaanku bercerita tentang
Penghuni Saturnus. Tolong, kumohon. Hentikan aku untuk merindukannya. Sadarkan aku,
tolong. Tarik aku dari dunia fantasi ini, aku sudah cukup lelah berurusan
dengan rindu. Aku tidak ingin lebih lama berada dalam angan-angan. Hentikan aku.
Aku tidak ingin ada cerita Penghuni Saturnus lainnya. Semoga ini yang terakhir,
kuharap begitu.
Sudah tidak ada lagi yang bisa aku katakan selain sebuah
kalimat “Aku rindu padamu”. Tidak ada.
Sudah tidak ada hal yang bisa aku ceritakan, walaupun masih ada banyak hal yang
ingin aku ceritakan. Biarlah sisa-sisa cerita ini aku simpan untukku sendiri. Biar.
Selagi aku menyimpannya, aku akan tetap berharap satu hal. Berharap kita akan
bertemu kembali suatu hari nanti. Berharap kita dipertemukan dengan cara yang
lebih layak. Berharap kita bertemu di tempat yang sering kamu kunjungi. Berharap
kamu menungguku di sana dan memiliki harapan yang sama untuk bertemu denganku. Semoga
suatu hari nanti, kita dipertemukan di tempat favoritmu, Pantai Anyer.
Komentar
Posting Komentar