Langsung ke konten utama

Sebuah Sesal

Bagaimana jika seseorang yang kamu anggap akan selalu ada, pergi begitu saja?  Bagaimana jika seseorang yang kamu yakini takkan menyakitimu, justru berusaha keras membuatmu hancur?  Bagaimana jika keputusanmu untuk tinggal, justru diabaikan dengan begitu saja?  Bagaimana jika orang itu adalah kamu?  Entah, aku tidak mengerti apa yang mendasariku menulis tentangmu, lagi.  Pernah kubilang, aku bosan harus tentangmu lagi.  Aku tak ingin ada sesal yang kembali menggebu.  Aku tak ingin ada amarah yang muncul akibat merutuki kebodohanku yang terus menunggumu.
Setiap detik yang pernah terlewati, setiap menit yang pernah kita bagi, setiap jam yang pernah kita rasakan, terasa tak berarti saat kamu memilih pergi.  Untuk apa kita melalui segalanya, jika pada akhirnya tak seindah yang kita bayangkan, lebih tepatnya yang aku bayangkan.  Aku mengerti bila selalu ada perpisahan setelah pertemuan.  Hanya saja aku tidak bisa mengerti, mengapa perpisahan selalu terasa menyakitkan.  Mengapa perpisahan meninggalkan kesan terburu-buru?  Bukankah sebelumnya, kita bahagia bersama?  Adakah yang salah dari sebuah temu yang berujung semu ini?  Aku tidak mengerti, sungguh.  Aku hanya tahu jika kita tak lagi seperti dulu, terasa ada sekat yang menghalangi kita.  Entah dari apa sekat itu tercipta.  Mungkinkah tercipta darimu yang sengaja menjauh secara perlahan?  Iya?  Dengan cara menyakiti tanpa peduli bagaimana rasa sakit ini terus tumbuh hingga mendarah daging dan harus kutelan susah payah.  Tidakkah kamu mengerti jika itu sangat menyakitkanku?
Untuk apa setiap janji yang kamu buat dulu bila pada akhirnya hanya sebatas kata.  Untuk apa kalimat penenang bila pada akhirnya hanya bisa terkenang. Untuk apa selalu ada bila pada akhirnya kamu pergi.  Untuk apa ada temu bila pada akhirnya lari adalah pilihanmu.  Apakah semesta memang sedang berkecandan pada kita?  Apakah semesta tidak sungguh-sungguh menginginkan kita ada?  Bisakah kamu jawab tanyaku dengan kalimat penenangmu itu?  Bisakah?
Aku terbiasa menyimpan rasa sakitku sendiri dan kamu, membuat rasa sakit itu semakin dalam.  Kamu tahu, aku terbiasa dengan bualan janji tapi entah mengapa janji yang kamu ingkari itu justru menyakitiku teramat dalam.  Tak masalah jika kamu memilih pergi karena sekali lagi, pergi dan berpisah adalah akhir dari sebuah sapa.  Hanya saja, haruskah kamu pergi dengan sebuah janji yang kamu ucap sendiri?  Atau janji itu memang hanya sekadar angin lalu yang tak penting bagimu?  Hah, anggap saja aku ini adalah gadis lugu yang telah berhasil kamu bodohi dengan segala ucapan manismu itu.  Anggap saja aku ini boneka sampah yang pernah kamu mainkan sepuas hati lalu dikembalikan ke tempatnya begitu saja setelah menemukan boneka yang lebih berharga dariku.  Anggap saja begitu.
Tidak ada kata akhir pada sebuah emosi yang menggebu selain rasa penyesalan.  Ya, aku menyesal; sangat.  Aku menyesal karena telah terperosok begitu jauh pada pesonamu.  Menyesal karena begitu mudahnya terpengaruh pada semua bualan semu yang hanya sebatas kata itu.  Aku teramat sangat menyesal karena pernah sejauh itu hadir di hidupmu.  Kuharap, aku tidak pernah menyesal menulis tentangmu lagi, tapi sepertinya aku salah, ternyata semesta memang senang berkecandan dengan kita, karena nyatanya, di detik yang sama aku menulis ini, aku me-nye-sal kembali mengingatmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru

“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse. Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu. Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku. Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin be

Tentang Kita, Cerita Kita

“Kamu, tuh, pembohong terbaik di seluruh dunia. Kamu bisa bohong ke semua orang, tapi engga ke aku. Kamu itu rapuh, itu yang bikin aku ada disini buat jagain kamu.” – A.S. Sehebat apapun aku menyembunyikan suatu hal, kamu selalu berhasil mengetahuinya. Membuatku tidak pernah sanggup berbohong kepadamu, termasuk perihal perasaanku. Terkadang aku benci saat kamu bisa membaca semuanya secara tepat, membuatku tidak mempunyai celah untuk berbohong. Kamu selalu bisa membuatku tidak berani menatap mata elangmu itu. Kamu selalu punya cara untuk membongkar semuanya. Tigabelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita. Banyak hal baru yang kita lakukan bersama. Banyak kenangan indah yang kita buat bersama. Banyak kenyataan menyakitkan yang kita rasakan bersama. Dulu, saat keadaan belum sedekat ini, kamu adalah laki-laki pertama yang aku benci di hidupku. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang belajar berjalan. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang bermain. Kamu selalu saja mengangguku.