Hari ini, satu tahun lalu, seseorang berlalu dari
hidupku. Seseorang itu adalah kamu. Kamu yang aku yakini takkan pernah membaca ini,
kecuali takdir memberi sebuah keajaiban padamu. Kamu memilih pergi setelah
singgah cukup lama di rumahku. Hanya berniat meneduh dari hujan badai yang
menerpamu kala itu dan pergi setelah hujan reda. Entah apa yang menjadi sebabmu
pergi. Bukankah kamu yang memilihku untuk menjadi bagian dari catatan hidupmu? Lantas,
mengapa harus perpisahan tanpa salam yang kau pilih? Entah, aku tidak mengerti
apa inginmu yang sesungguhnya.
Satu tahun lalu, sebelum hari ini, kita berbagi
banyak hal. Tentang kamu dan kekasihmu, misalnya. Tunggu dulu, sebelum semua
berpikir yang tidak-tidak, akan aku jelaskan satu hal. Kami hanya sebatas
teman, mungkin lebih layak disebut sahabat. Kamu bercerita banyak hal
tentangnya yang membuatku diam-diam merasa kagum dengan caramu menghargai
perempuan, mengingat aku juga seorang perempuan walau kredibilitasku diragukan
banyak orang. Oke, baiklah, aku hanya bercanda, jangan terlalu serius dengan ini, mari kita lanjutkan. Tidak hanya itu, aku
kagum dengan caramu menghadapi perpisahan abadi. Memang tidak mudah melepas
seseorang yang sangat berharga di hidup kita. Tidak mudah untuk bangkit setelah
melewati proses kehilangan, tapi kamu, kamu berusaha tegar dan menjadi penopang
saat keluargamu membutuhkan sandaran. Sedihmu berusaha kamu tutupi dengan
senyuman, tangismu disisipkan ke dalam doa. Kamu berhasil melewati semua itu
dengan ikhlas, kamu melepas orang terkasihmu dengan lapang dada.
Tidak kusangka kita sudah melewati banyak hal, banyak
kenangan, banyak senyuman, juga banyak kesedihan. Aku tak tahu mengapa kamu
menjadikanku sebagai tempat yang kamu percayai untuk menampung masalahmu. Aku sangat
tersanjung akan hal itu dan aku mulai merindukannya sekarang. Satu tahun lalu,
sebelum hari ini, aku terbiasa menemani perjalanan pulangmu lewat sambungan telepon.
Aku menemanimu mulai dari langkah pertama kamu keluar dari gedung yang menjadi
kebanggaanmu selama ini hingga sebuah salam keluar dari bibirmu di sebuah
tempat yang kamu sebut rumah. Aku terbiasa mendengar suara-suara gaduh dalam
bus yang kamu naiki, aku terbiasa mendengar pengumuman di dalam kereta yang
menunjukkan sudah sampai mana kamu berada, aku terbiasa mendengar kamu
menggerutu karena Ayahmu tidak bisa datang menjemputmu di stasiun ataupun
karena kamu tak kunjung mendapatkan ojek. Aku terbiasa mendengar semua itu
sampai menjadikan itu semua bagian dari favoritku. Andai kamu mengerti, tidak
mudah menghilangkan hal-hal kecil seperti ini yang sudah menjadi kebiasaanku.
Kamu tahu, setiap kali kita bercakap-cakap kamu
selalu terganggu dengan kebisingan di rumahku. Bahkan kamu tidak segan-segan
untuk memberi umpatan kepada pengendara motor yang melintas di depan rumahku. Terutama
saat aku sedang tidak enak badan kala itu, aku ingat sekali dengan sebuah
kalimat yang kamu lontarkan malam itu. “Mereka
ngga tahu apa, ada orang sakit disini. Kalo aku disana, aku naik ke atas pohon
terus aku lemparin batu ke mereka dari atas, biar tahu rasa. Lagian naik motor
kenceng ngga liat jam, udah malem. Kan kasihan yang mau istirahat.” Lihat,
aku masih ingat, kan? Tentu saja, bagaimana mungkin aku bisa lupa pada setiap
perhatian yang kamu beri padaku, terlebih lagi didukung dengan sifatku yang
suka menyimpan segalanya; termasuk kenangan tentunya. Oke, lanjutkan, aku tidak
ingin membahas diriku sendiri dalam cerita ini.
Tunggu, sepertinya aku melewatkan sesuatu yang
menjadi favoritmu. Eum, ah, ya, aku ingat. Kamu sering memintaku memutar lagu
When I Was Your Man milik Bruno Mars dan juga Firasat milik Marcell. “Biar inget mantan.”, katamu sambil
tertawa. Dan ya, aku pun ikut tertawa. Kita menikmati kedua lagu itu
bersama-sama, tak jarang juga senandung kecil keluar beriringan dengan alunan
lagu. Kamu tahu, sampai sekarang aku masih memutar kedua lagu itu, sekadar
ingin mengingatmu sejenak. Dan saat ini pun, aku sedang mendengarkannya;
Firasat - Marcell. Bagian favoritku adalah aku
pun sadari engkaulah firasat hati, terasa menenangkan saat lirik itu
dinyanyikan, mengakhiri sebuah senandung dengan harmoni yang indah. Aku menyukainya
dengan sangat.
Kamu pernah berkata kamu benci Jakarta yang macet
karena hal itu membuatmu harus menunggu lebih lama lagi untuk bisa sampai ke
rumah. Kamu berharap setiap hari adalah hari raya agar Jakarta tidak seramai
biasanya. Kamu senang ketika hari raya tiba karena kamu bebas pergi kemana pun
tanpa harus melihat kemacetan dimana-mana. Hal yang mustahil sepertinya,
mengingat Jakarta yang menjadi semakin padat setiap tahunnya akibat arus urbanisasi
yang tidak terkontrol. Mengapa aku jadi membahas masalah ibukota? Aish, maafkan
pikiranku yang mengarah ke banyak hal ini. Baiklah, kembali ke topik.
Ingat perdebatan kita tentang cara melafalkan kata
rokok? Sungguh, aku tertawa mengingatnya. Aku yang mengucapkan “rokok” secara
lantang, sedangkan kamu mengucapkan tanpa huruf “k” jadi hanya sekadar “roko’”.
Kamu mengataiku medok sambil tertawa. Huh, sungguh menyebalkan. Memangnya apa
yang salah dari ucapanku? Sudahlah, tidak perlu diperdebatkan. Bukan sesuatu
yang penting sebenarnya. Tidak hanya itu, kamu selalu memintaku menyelipkan
kata-kata dari bahasa ngapak yang nantinya akan kamu tanyakan artinya. “Aku suka kamu ngomel-ngomel kalo aku ketawa
pas denger kamu ngomong ngapak.” Sepertinya bukan hanya kamu yang begitu,
sebagian besar orang juga tertawa ketika mendengarnya. Seperti sebuah hal yang
lucu. Kamu harus tahu satu hal, caramu tertawa menjadi salah satu yang kusukai
darimu.
Ada banyak hal yang bisa aku ceritakan tentangmu,
sangat banyak malah. Namun, untuk apa mengingat lebih banyak hal yang mampu
menyakiti hati secara perlahan. Tidak, aku tidak mengatakan itu untukku. Aku hanya
membuat sebuah perumpamaan saja. Lebih baik aku akhiri saja cerita ini,
daripada aku harus semakin larut dan kembali terpuruk akibat kehilanganmu.
Untukmu yang hadir satu tahun lalu, sebelum hari ini, terimakasih pernah
meluangkan waktumu untuk menemani dan berbagi cerita denganku. Terimakasih telah
memilihku sebagai tempat untukmu bercerita. Terimakasih telah mengajarkanku
arti keluarga dari caramu memperlakukan orang tua dan adik-adikmu. Terimakasih untuk
segala hal yang kamu beri secara langsung ataupun tidak. Sukses selalu untukmu,
kutunggu kabar baik darimu, selama yang aku sanggup. Aku yakin, suatu saat
semesta akan mempertemukan kita, Feb.
Komentar
Posting Komentar