Langsung ke konten utama

Hari Ini, Satu Tahun Lalu #1

Hari ini, satu tahun lalu, seseorang berlalu dari hidupku. Seseorang itu adalah kamu. Kamu yang aku yakini takkan pernah membaca ini, kecuali takdir memberi sebuah keajaiban padamu. Kamu memilih pergi setelah singgah cukup lama di rumahku. Hanya berniat meneduh dari hujan badai yang menerpamu kala itu dan pergi setelah hujan reda. Entah apa yang menjadi sebabmu pergi. Bukankah kamu yang memilihku untuk menjadi bagian dari catatan hidupmu? Lantas, mengapa harus perpisahan tanpa salam yang kau pilih? Entah, aku tidak mengerti apa inginmu yang sesungguhnya.
Satu tahun lalu, sebelum hari ini, kita berbagi banyak hal. Tentang kamu dan kekasihmu, misalnya. Tunggu dulu, sebelum semua berpikir yang tidak-tidak, akan aku jelaskan satu hal. Kami hanya sebatas teman, mungkin lebih layak disebut sahabat. Kamu bercerita banyak hal tentangnya yang membuatku diam-diam merasa kagum dengan caramu menghargai perempuan, mengingat aku juga seorang perempuan walau kredibilitasku diragukan banyak orang. Oke, baiklah, aku hanya bercanda, jangan terlalu serius dengan  ini, mari kita lanjutkan. Tidak hanya itu, aku kagum dengan caramu menghadapi perpisahan abadi. Memang tidak mudah melepas seseorang yang sangat berharga di hidup kita. Tidak mudah untuk bangkit setelah melewati proses kehilangan, tapi kamu, kamu berusaha tegar dan menjadi penopang saat keluargamu membutuhkan sandaran. Sedihmu berusaha kamu tutupi dengan senyuman, tangismu disisipkan ke dalam doa. Kamu berhasil melewati semua itu dengan ikhlas, kamu melepas orang terkasihmu dengan lapang dada.
Tidak kusangka kita sudah melewati banyak hal, banyak kenangan, banyak senyuman, juga banyak kesedihan. Aku tak tahu mengapa kamu menjadikanku sebagai tempat yang kamu percayai untuk menampung masalahmu. Aku sangat tersanjung akan hal itu dan aku mulai merindukannya sekarang. Satu tahun lalu, sebelum hari ini, aku terbiasa menemani perjalanan pulangmu lewat sambungan telepon. Aku menemanimu mulai dari langkah pertama kamu keluar dari gedung yang menjadi kebanggaanmu selama ini hingga sebuah salam keluar dari bibirmu di sebuah tempat yang kamu sebut rumah. Aku terbiasa mendengar suara-suara gaduh dalam bus yang kamu naiki, aku terbiasa mendengar pengumuman di dalam kereta yang menunjukkan sudah sampai mana kamu berada, aku terbiasa mendengar kamu menggerutu karena Ayahmu tidak bisa datang menjemputmu di stasiun ataupun karena kamu tak kunjung mendapatkan ojek. Aku terbiasa mendengar semua itu sampai menjadikan itu semua bagian dari favoritku. Andai kamu mengerti, tidak mudah menghilangkan hal-hal kecil seperti ini yang sudah menjadi kebiasaanku.
Kamu tahu, setiap kali kita bercakap-cakap kamu selalu terganggu dengan kebisingan di rumahku. Bahkan kamu tidak segan-segan untuk memberi umpatan kepada pengendara motor yang melintas di depan rumahku. Terutama saat aku sedang tidak enak badan kala itu, aku ingat sekali dengan sebuah kalimat yang kamu lontarkan malam itu. “Mereka ngga tahu apa, ada orang sakit disini. Kalo aku disana, aku naik ke atas pohon terus aku lemparin batu ke mereka dari atas, biar tahu rasa. Lagian naik motor kenceng ngga liat jam, udah malem. Kan kasihan yang mau istirahat.” Lihat, aku masih ingat, kan? Tentu saja, bagaimana mungkin aku bisa lupa pada setiap perhatian yang kamu beri padaku, terlebih lagi didukung dengan sifatku yang suka menyimpan segalanya; termasuk kenangan tentunya. Oke, lanjutkan, aku tidak ingin membahas diriku sendiri dalam cerita ini.
Tunggu, sepertinya aku melewatkan sesuatu yang menjadi favoritmu. Eum, ah, ya, aku ingat. Kamu sering memintaku memutar lagu When I Was Your Man milik Bruno Mars dan juga Firasat milik Marcell. “Biar inget mantan.”, katamu sambil tertawa. Dan ya, aku pun ikut tertawa. Kita menikmati kedua lagu itu bersama-sama, tak jarang juga senandung kecil keluar beriringan dengan alunan lagu. Kamu tahu, sampai sekarang aku masih memutar kedua lagu itu, sekadar ingin mengingatmu sejenak. Dan saat ini pun, aku sedang mendengarkannya; Firasat - Marcell. Bagian favoritku adalah aku pun sadari engkaulah firasat hati, terasa menenangkan saat lirik itu dinyanyikan, mengakhiri sebuah senandung dengan harmoni yang indah. Aku menyukainya dengan sangat.
Kamu pernah berkata kamu benci Jakarta yang macet karena hal itu membuatmu harus menunggu lebih lama lagi untuk bisa sampai ke rumah. Kamu berharap setiap hari adalah hari raya agar Jakarta tidak seramai biasanya. Kamu senang ketika hari raya tiba karena kamu bebas pergi kemana pun tanpa harus melihat kemacetan dimana-mana. Hal yang mustahil sepertinya, mengingat Jakarta yang menjadi semakin padat setiap tahunnya akibat arus urbanisasi yang tidak terkontrol. Mengapa aku jadi membahas masalah ibukota? Aish, maafkan pikiranku yang mengarah ke banyak hal ini. Baiklah, kembali ke topik.
Ingat perdebatan kita tentang cara melafalkan kata rokok? Sungguh, aku tertawa mengingatnya. Aku yang mengucapkan “rokok” secara lantang, sedangkan kamu mengucapkan tanpa huruf “k” jadi hanya sekadar “roko’”. Kamu mengataiku medok sambil tertawa. Huh, sungguh menyebalkan. Memangnya apa yang salah dari ucapanku? Sudahlah, tidak perlu diperdebatkan. Bukan sesuatu yang penting sebenarnya. Tidak hanya itu, kamu selalu memintaku menyelipkan kata-kata dari bahasa ngapak yang nantinya akan kamu tanyakan artinya. “Aku suka kamu ngomel-ngomel kalo aku ketawa pas denger kamu ngomong ngapak.” Sepertinya bukan hanya kamu yang begitu, sebagian besar orang juga tertawa ketika mendengarnya. Seperti sebuah hal yang lucu. Kamu harus tahu satu hal, caramu tertawa menjadi salah satu yang kusukai darimu.

Ada banyak hal yang bisa aku ceritakan tentangmu, sangat banyak malah. Namun, untuk apa mengingat lebih banyak hal yang mampu menyakiti hati secara perlahan. Tidak, aku tidak mengatakan itu untukku. Aku hanya membuat sebuah perumpamaan saja. Lebih baik aku akhiri saja cerita ini, daripada aku harus semakin larut dan kembali terpuruk akibat kehilanganmu. Untukmu yang hadir satu tahun lalu, sebelum hari ini, terimakasih pernah meluangkan waktumu untuk menemani dan berbagi cerita denganku. Terimakasih telah memilihku sebagai tempat untukmu bercerita. Terimakasih telah mengajarkanku arti keluarga dari caramu memperlakukan orang tua dan adik-adikmu. Terimakasih untuk segala hal yang kamu beri secara langsung ataupun tidak. Sukses selalu untukmu, kutunggu kabar baik darimu, selama yang aku sanggup. Aku yakin, suatu saat semesta akan mempertemukan kita, Feb.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru

“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse. Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu. Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku. Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin be

Tentang Kita, Cerita Kita

“Kamu, tuh, pembohong terbaik di seluruh dunia. Kamu bisa bohong ke semua orang, tapi engga ke aku. Kamu itu rapuh, itu yang bikin aku ada disini buat jagain kamu.” – A.S. Sehebat apapun aku menyembunyikan suatu hal, kamu selalu berhasil mengetahuinya. Membuatku tidak pernah sanggup berbohong kepadamu, termasuk perihal perasaanku. Terkadang aku benci saat kamu bisa membaca semuanya secara tepat, membuatku tidak mempunyai celah untuk berbohong. Kamu selalu bisa membuatku tidak berani menatap mata elangmu itu. Kamu selalu punya cara untuk membongkar semuanya. Tigabelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita. Banyak hal baru yang kita lakukan bersama. Banyak kenangan indah yang kita buat bersama. Banyak kenyataan menyakitkan yang kita rasakan bersama. Dulu, saat keadaan belum sedekat ini, kamu adalah laki-laki pertama yang aku benci di hidupku. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang belajar berjalan. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang bermain. Kamu selalu saja mengangguku.