Halo, Langit! Bagaimana kabarmu? Kulihat kamu
baik-baik saja. Kamu sangat cerah akhir-akhir ini, Langit. Ada apa? Hal bahagia
apa yang sedang kamu rasakan? Berbagilah denganku, aku sungguh penasaran apa
yang membuatmu secerah ini. Langit Biru-mu sangat indah, aku selalu tersenyum
saat memandangmu dari bawah sini. Ingin rasanya aku terbang ke atas sana untuk
melihatmu lebih dekat.
Langit, dulu kamu memintaku untuk memberimu sesuatu
yang istimewa di hari bahagiamu. Dan hari ini, aku berhasil mewujudkannya. Bukan
sesuatu yang mahal seperti action figure
milikmu. Bukan sesuatu yang bernilai seperti kilau berlian yang kamu kagumi
keindahannya. Aku hanya mampu memberimu ini, sebuah cerita tentang kita berdua,
tentang si Gadis Kecil dan Langit Biru. Kisah perjalanan yang mungkin sudah
biasa dilakukan orang-orang. Hanya saja kali ini berbeda, ini kisahku denganmu,
Langit. Maaf jika ini semua tidak sesuai harapanmu.
Tiga tahun lalu, aku diperkenalkan denganmu. Biru,
ucapmu kala itu saat kita berkenalan. Nama yang cukup aneh, menurutku. Bahkan sampai
detik ini, aku masih belum mengerti mengapa harus Biru, mengapa harus warna itu
yang disematkan dalam nama tengahmu. Sikapku saat itu biasa saja, masih
terheran-heran dengan namamu yang unik itu. Namun, sepertinya sekarang aku
mengerti mengapa Biru menjadi namamu. Biru adalah warna yang indah sama seperti
kedua matamu, Biru adalah warna yang cerah sama seperti senyum milikmu, dan
Biru adalah warna yang menenangkan seperti tuturmu. Biru sangat persis seperti
kepribadianmu. Mungkin saja itu maksud dari namamu. Langit adalah panggilan
kesayanganku untukmu, harus menyebut Biru setiap kali bertemu denganmu
membuatku merasa sedikit aneh.
Ternyata pertemuan kita tidak sebatas hari itu, kamu
yang secara tiba-tiba menjadi teman dekat laki-laki kecilku, membuatku bertemu denganmu,
lagi dan lagi. Mulanya sedikit canggung saat kamu masuk di hidupku dan dekat
dalam waktu yang singkat. Aku perlu membiasakan diri dan berhasil. Kamu tidak
lagi seperti orang asing yang baru kukenal, aku bisa beradaptasi dengan
kehadiranmu dan kamu pun begitu. Langit,
apa kamu masih ingat hari dimana kita untuk pertama kalinya berbincang berdua
tanpa laki-laki kecilku? Saat itu, keringat dingin membanjiri dahimu. Hey, apa
yang salah denganmu saat itu? Kamu hanya bertemu Gadis Kecil, bukan bertemu
hantu yang siap menerkammu. Ini hanya pertemuan biasa, tapi mengapa kamu
sebegitu gugupnya? Mungkinkah kamu merasa aneh dengan penampilanku? Atau dengan
topik pembicaraanku tentang hujan yang aku benci? Ah, sudahlah, sudah cukup
membahas ini semua.
Bulan pertama pertemanan kita, kamu sempat bertanya
suatu hal yang membuatku tertawa terbahak-bahak. “Kamu sama laki-laki kecilmu itu, pacaran?” Hahaha, aku sangat
ingin tertawa sekarang. Bagaimana mungkin kamu bisa berpikiran seperti itu
dengan polosnya? Astaga, ingin rasanya aku menarik hidung panjangmu itu. Aku
dengan si laki-laki kecil itu? Pacaran? Yang benar saja, dia kakakku,
saudaraku, aku tidak mungkin berpacaran dengan saudaraku sendiri. Langit yang
awalnya kukenal sebagai sosok yang dingin dan kaku ternyata mempunyai rasa
penasaran yang setinggi itu. Andaikan saat itu aku merekam ekspresimu, pasti
kamu akan tertawa juga. Sungguh, Langit, kamu lucu sekali saat bertanya seperti
itu.
Sejak pertemuan itu, kamu makin penasaran denganku. Mengapa
aku bisa tahu? Langit, aku tahu semuanya, laki-laki kecilku yang jahil itu
membocorkannya padaku. Kamu bertanya apa yang aku suka, apa yang tidak aku
suka, siapa yang sedang dekat denganku, bagaimana cara melunakkan hatiku. Aku tidak
menyangka, sosok Langit bisa menjadi seperti ini hanya karena Gadis Kecil
sepertiku. Saat aku tanya mengapa kamu bisa seperti ini, kamu hanya diam dan
tersenyum salah tingkah. Menyadari kebodohanmu yang kamu lakukan dulu. Ah,
Langit-ku sayang, kamu lucu sekali.
Mempunyai hobi yang sama membuat jarak kita semakin
dekat. Kita yang sama-sama suka membaca, membuat obrolan kita menyatu. Walaupun
kamu lebih suka membaca buku non-fiksi juga buku hadist dan aku lebih menyukai
novel fiksi serta buku-buku psikologi, tidak membuat perbedaan itu menjadi
penghalang. Kamu mengajariku ilmu agama dari buku yang kamu baca dan aku
mengajarimu ilmu psikologi dari buku favoritku. Terkadang aku yang tidak
mengerti, membuatmu kesal dan berhenti bercerita, lalu aku akan membaca sendiri
dan berusaha mencerna setiap kalimat yang ada. Walaupun sangat sulit bagiku
memahami kalimat dengan bahasa yang rumit seperti itu tapi aku tetap mencoba. Atau
kamu yang merasa bahwa psikologi sedikit tidak masuk akal dan aneh, lalu kita
akan berdebat kecil dan tidak akan berhenti sampai seseorang menghentikan kita.
Beginilah jadinya, jika sama-sama memiliki watak keras kepala, tidak akan kalah
sampai lawan menyerah.
Hari demi hari kita lewati bertiga; bersama
laki-laki kecilku. Walau tidak setiap hari, karena jarak yang cukup jauh untuk
bertemu, namun aku tetap bisa mengenalmu dengan baik. Langit, jujur saja, aku
suka caramu menatap mataku, sangat lembut tanpa ada niat untuk menyakiti. Aku suka
caramu tertawa, sangat ringan, seakan tidak ada beban di dalamnya. Aku suka
caramu menggandeng tanganku, bukan dengan kelima jari tanganmu, hanya
kelingking kecil yang menggamit kelingking milikku. Jika kamu membaca ini, aku
harap kamu tidak merasa sedang diterbangkan olehku. Aku sangat tidak suka
melihat wajahmu yang bersemu saat aku menyanjungmu, seperti kepiting rebus.
Kamu menjadi yang pertama yang menghargai perjanjianku
dengan laki-laki kecilku. Kamu menghargainya tanpa menghakimi dan aku mengagumi
itu. Sikap dewasamu membuatku belajar banyak darimu, secara tidak langsung. Sebaik-baiknya
sebuah hubungan adalah sebuah pertemanan yang membawa manfaat, bukan? Itu kata-katamu
dulu. Kamu berhasil membuktikannya padaku. Langit, bila jarak tidak terbentang
luas, aku percaya, kamu akan terus memberiku pelajaran hidup. Pelajaran hidup
yang juga kamu pelajari di atas sana. Ayo, kita sempatkan waktu untuk bertemu
dan berbincang seperti dulu.
Kamu menjadi yang pertama selain laki-laki kecilku
yang berani menemui Ayah hanya untuk mengajakku makan martabak di depan rumah. Kamu
benar-benar nekat, Langit. Sepertinya kamu belajar banyak dari laki-laki
kecilku. Huh, kamu curang, seharusnya dia tidak memberitahumu tentang cara
menaklukan hati Ayah. Tapi sudahlah, semua sudah terjadi. Kita sekarang lebih
mirip seperti keluarga dibanding teman. Ya, keluarga, kata yang tepat untuk
menggambarkan kedudukanmu di hidupku.
Aku tidak mengerti, mengapa kamu begitu senang
membiarkan rambut-rambut halus tumbuh di wajahmu. “Sunnah Rasul.” Selalu begitu jawabanmu saat aku bertanya. Iya, aku
tahu, hanya saja, bisakah untuk sekali ini saja kamu tidak membiarkan mereka
tumbuh? Aku ingin melihatmu dengan wajah yang berbeda. Mungkin saja kamu akan
terlihat tampan tanpa kehadiran mereka. Ingat, mungkin saja. Bisa saja wajahmu
justru semakin aneh tanpa kehadiran rambut-rambut halus kesayanganmu itu. Hahaha.
Sama seperti yang lain, kita juga pernah bertengkar.
Bukan lagi pertengkaran kecil yang biasa terjadi. Kita yang sama-sama
dikelilingi oleh amarah, membuat kita tidak bisa berpikir jernih. Kamu melontarkan
kata-kata yang menyakitkan dan aku melontarkan nada tinggi setiap kali kita
bertengkar. Sempat aku berpikir, mungkin ini akhir dari hubungan kita. Delapan bulan
tidak bertegur sapa, tidak memberi kabar, saling mengacuhkan, juga saling
menghindar. Membuat siapapun yang mengenal kita bertanya-tanya apa yang terjadi
hingga kita menjadi seperti ini. Aku mulai mencoba kembali menata keadaan yang
berantakan ini, aku kesampingkan harga diriku dan mencoba untuk mendekatimu
perlahan. Namun, apa yang terjadi? Kamu semakin menghindariku, seakan mengerti
aku sedang mencoba mendekatimu. Aku menyerah. Ya, aku menyerah menghadapi sikap
keras kepalamu itu. Akhirnya aku berhenti. Waktu terus berjalan dan keadaan
normal kembali. Tetapi sepertinya waktu senang mempermainkanku. Disaat aku
mulai terbiasa tanpa kehadiranmu, kamu kembali. Langit-ku kembali dengan senyum
yang dimiliki, senyum yang sama saat hari pertama kita bertemu. Kamu kembali
tanpa menjelaskan semua masalah yang ada. “Lupain
aja yang dulu-dulu. Sekarang, ya, sekarang. Sekarang kita baik-baik aja.”
Di hari bahagiamu, aku ucapkan selamat atas
pencapaianmu selama ini. Aku turut bangga menjadi bagian dari hidupmu. Aku senang
bisa memberimu semangat saat kamu merasa putus asa, walaupun tidak secara
langsung. Aku senang kamu menjadikanku rumah saat kamu tidak tahu arah jalan
pulang. Aku senang kamu menjadikanku adik kesayangan yang selalu ingin kamu
lindungi. Selamat, selamat atas semuanya. Aku penuhi janjiku hari ini. Hanya cerita
ini yang bisa kuberikan. Hanya cerita ini yang bisa kubuat dan bisa kamu baca
lagi jika suatu saat nanti kamu merindukanku. Hanya cerita sederhana dengan
kalimat yang berantakan. Aku harap kamu menyukainya. Terimakasih telah hadir
dan ikut memeriahkan hidupku. Terimakasih, Langit-ku. Terimakasih, Biru.
Komentar
Posting Komentar