Langsung ke konten utama

#ADIKARA: Kara; Gadisku

Entah sudah berapa lama aku duduk di taman ini. Satu jam, dua jam, atau bahkan tiga jam? Tak ada yang tahu termasuk aku. Tak sedikit orang yang melewatiku dan menatap dengan pandangan aneh. Aku tetap tidak peduli. Pikiranku berkecamuk. Berbagai kenangan berputar-beputar seperti komedi putar yang seakan-akan sedang memutar scene demi scene beraroma kenangan.
Tes. Tes. Tes. Aku menengadahkan kepala. Langit terlihat mendung, sama seperti suasana hatiku saat ini. Aku tertawa sambil melihat langit.
“Aku harus pergi secepatnya.”, gumamku.
Aku pun segera berlari menuju kafe dekat taman sebelum hujan turun lebih deras. Sepertinya langit sedang rindu pada Bumi, sama sepertiku. Lonceng berbunyi saat aku masuk ke dalam kafe. Aroma kopi menyeruak ke setiap sudut kafe. Menenangkan. Aku memutar kepala ke kanan dan kiri mencari kursi kosong. Nah, itu dia. Ada kursi kosong di sudut kafe tepat bersebelahan dengan jendela sehingga aku bisa melihat orang lalu-lalang menerobos hujan.
Huh, apa enaknya menerobos hujan? Sama sekali tidak berguna, lebih baik aku duduk menghangatkan badan sambil minum cappucino latte disini. Harus kuakui, dulu aku adalah penikmat hujan. Aku pernah seperti mereka yang rela menerobos hujan hanya untuk menikmati ‘basah’ yang hujan bagi. Tapi tidak lagi setelah seseorang datang lalu mengambil semua nikmat yang hujan beri. Seseorang datang dengan senyuman lalu pergi meninggalkan luka. Sejak saat itu, aku benci hujan.
Tunggu, bukankah seharusnya aku memesan kopi? Ah, ya, aku hampir lupa.
“Mas, cappucino latte sama vanilla cake. Makasih.” Ucapku pada salah seorang pelayan disini.
Pelayan itu kembali menjalankan tugasnya. Aku menunggu disini, bersama kenangan. Ah, mengapa membicarakan kenangan tak pernah ada habisnya? Andaikan perpisahan itu tidak terjadi. Andaikan dia tidak pergi tiba-tiba. Andaikan dia memberi penjelasan kepadaku terlebih dahulu. Sial, aku mulai beranda-andai lagi.
Aneh rasanya saat aku terus memikirkannya padahal dia tak pernah peduli. Aku merasa lemah saat berurusan dengannya. Aku tak tahu kenapa. Gadis itu benar-benar membuatku gila. Apa yang dia lakukan hingga membuatku uring-uringan seperti ini? Argh, aku harus meminum kafeinku sekarang juga. Setidaknya dengan menghirup dan merasakan aroma kopi yang menenangkan, aku bisa melupakannya sesaat –ya, memang hanya sesaat. Pikiran dan hatiku sepertinya sudah bersahabat dengannya.
Kuteguk perlahan cappucino latte ini. Nikmat duniawi yang siapapun boleh mencobanya. Bagiku kopi adalah salah satu cara untuk membuat kita melupakan sejenak masalah yang ada. Menikmati hidup untuk diri sendiri tanpa harus disebut egois. Kopi adalah bagian dari hidupku yang tidak pernah aku sesali. Sayangnya, dia tidak menyukai kegemaranku ini.
“Ngga baik kebanyakan minum kopi.”, katanya.
Tidak menyukai bukan berarti membenci. Dia juga sangat suka kopi. Bedanya ia menyukai rasa kopi yang ada di merk susu favoritnya. Dia memang penggemar susu. Tiada hari tanpa susu, katanya. Benar-benar gadis aneh. Lagi, aku mengingatnya. Sudahlah, kalian tak perlu protes, ini memang kehidupanku. Ya, hidupku adalah memikirkannya.
Secangkir kopi sudah kuhabiskan. Vanilla cake yang aku pesan pun sudah tak tersisa. Namun, hujan belum juga memberi tanda-tanda untuk berhenti. Mungkin hujan sudah berada di puncak kerinduannya pada bumi. Bumi sungguh beruntung, dicintai teramat dalam oleh langit. Aku iri, huh.
Drrt..drrt...drrt. Ponselku berdering tanda telepon masuk. Ares. Tumben sekali dia meneleponku. Pasti ada hal mendesak.
“Halo, Res. Tumben banget lo...” ucapanku terhenti saat mendengar suara cemas Ares. “Lo kenapa, Res? Tenang Res, tenang.”
Aku mencoba menenangkan Ares. Dia sulit mengendalikan diri saat cemas seperti ini. Aku khawatir ada hal serius yang terjadi. Apakah terjadi sesuatu pada Ares? Ah, atau mungkin... Venus?
“Tenangin diri lo dulu, Res. Tarik napas. Lo ngga akan bisa ngomong kalo masih cemas gini. Kontrol diri lo dulu.”
Kudengar Ares menarik napas dan menghembuskannya kasar. Aku rasa dia mulai tenang.
“Venus, Di. Venuss....”
Gotcha. Benar dugaanku, ini tentang Venus. Hal apalagi yang terjadi pada gadis itu hingga membuat sahabatku secemas ini.
“Oke, lo tenang, Res. Venus kenapa?”
“Venus kecelakaan, Res. Venus kecelakaan pas mau nemuin gue. Dia kecelakaan karena gue, Di. Gue yang bikin dia koma sekarang. Gue harus gimanaa??”
Ares terus menyalahkan dirinya. Aku menaruh uang di meja dan beranjak pergi. Panggilan telepon Ares tidak aku tutup, aku khawatir dia akan menyakiti dirinya –lagi.
“Lo harus tenang, Res. Venus pasti baik-baik aja. Gue bakal kesana sekarang juga. Lo harus tenang. Lo ga uss......”
Saking terburu-burunya aku tidak menyadari di depanku ada seorang gadis. Terlambat, aku menabraknya. Buku-buku yang dia bawah terjatuh di jalan. Aku pun berjongkok untuk membantunya.
“Maaf mba, saya ngga sengaja. Saya buru-buru banget. Mba ngga pa-pa, kan?”, tanyaku sambil membantunya mengambil buku dengan tangan kananku. Ponselku? Tentu saja ada di tangan kiri, masih setia berada di telingaku.
“Ngga pa-pa kok, mas. Makasih, yaa.” Dia mendongakkan kepalanya.
Aku terkejut. Sangat. Dia gadis yang selalu aku pikirkan. Dia gadis yang selalu aku rindukan. Dia gadis aneh yang aku sayang. Dia...
“Kara?”, ucapku tak percaya pada apa yang baru saja terjadi.
Gadis itu sama terkejutnya seperti aku. Aku lihat dia segera membereskan buku lalu bangkit dan heey dia lari begitu saja.
“KARA!!!”, teriakku. “KARA!!!”
Argh, sial. Aku mengejarnya sebisaku. Tidak, aku lupa pada Ares.
“Ares, barusan gue ketemu Kara. Gue bakal secepetnya sampe rumah sakit. Lo jangan kemana-mana dan jangan ngelakuin hal aneh lagi.”
Aku mematikan ponselku dan terus mengejar Kara. Aku sangat yakin dia adalah Kara. Gadisku yang selalu aku rindukan. Aku tidak salah, dia benar-benar Kara. Argh, kenapa dia harus lari seperti ini? Apa yang membuat dia tak ingin bertemu denganku?
“Kara!!”, teriakku sekali lagi. Namun nihil, Kara menghilang. Gadisku kembali pergi.
Karaku pergi dan aku kembali...

Rindu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru

“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse. Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu. Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku. Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin be

Tentang Kita, Cerita Kita

“Kamu, tuh, pembohong terbaik di seluruh dunia. Kamu bisa bohong ke semua orang, tapi engga ke aku. Kamu itu rapuh, itu yang bikin aku ada disini buat jagain kamu.” – A.S. Sehebat apapun aku menyembunyikan suatu hal, kamu selalu berhasil mengetahuinya. Membuatku tidak pernah sanggup berbohong kepadamu, termasuk perihal perasaanku. Terkadang aku benci saat kamu bisa membaca semuanya secara tepat, membuatku tidak mempunyai celah untuk berbohong. Kamu selalu bisa membuatku tidak berani menatap mata elangmu itu. Kamu selalu punya cara untuk membongkar semuanya. Tigabelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita. Banyak hal baru yang kita lakukan bersama. Banyak kenangan indah yang kita buat bersama. Banyak kenyataan menyakitkan yang kita rasakan bersama. Dulu, saat keadaan belum sedekat ini, kamu adalah laki-laki pertama yang aku benci di hidupku. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang belajar berjalan. Kamu selalu mengangguku saat aku sedang bermain. Kamu selalu saja mengangguku.