Entah sudah berapa lama aku duduk di
taman ini. Satu jam, dua jam, atau bahkan tiga jam? Tak ada yang tahu termasuk
aku. Tak sedikit orang yang melewatiku dan menatap dengan pandangan aneh. Aku
tetap tidak peduli. Pikiranku berkecamuk. Berbagai kenangan berputar-beputar
seperti komedi putar yang seakan-akan sedang memutar scene demi scene beraroma
kenangan.
Tes. Tes. Tes. Aku menengadahkan kepala.
Langit terlihat mendung, sama seperti suasana hatiku saat ini. Aku tertawa sambil
melihat langit.
“Aku harus pergi secepatnya.”, gumamku.
Aku pun segera berlari menuju kafe dekat
taman sebelum hujan turun lebih deras. Sepertinya langit sedang rindu pada
Bumi, sama sepertiku. Lonceng berbunyi saat aku masuk ke dalam kafe. Aroma kopi
menyeruak ke setiap sudut kafe. Menenangkan. Aku memutar kepala ke kanan dan
kiri mencari kursi kosong. Nah, itu dia. Ada kursi kosong di sudut kafe tepat
bersebelahan dengan jendela sehingga aku bisa melihat orang lalu-lalang
menerobos hujan.
Huh, apa enaknya menerobos hujan? Sama
sekali tidak berguna, lebih baik aku duduk menghangatkan badan sambil minum
cappucino latte disini. Harus kuakui, dulu aku adalah penikmat hujan. Aku
pernah seperti mereka yang rela menerobos hujan hanya untuk menikmati ‘basah’ yang
hujan bagi. Tapi tidak lagi setelah seseorang datang lalu mengambil semua
nikmat yang hujan beri. Seseorang datang dengan senyuman lalu pergi
meninggalkan luka. Sejak saat itu, aku benci hujan.
Tunggu, bukankah seharusnya aku memesan
kopi? Ah, ya, aku hampir lupa.
“Mas, cappucino latte sama vanilla cake.
Makasih.” Ucapku pada salah seorang pelayan disini.
Pelayan itu kembali menjalankan
tugasnya. Aku menunggu disini, bersama kenangan. Ah, mengapa membicarakan
kenangan tak pernah ada habisnya? Andaikan perpisahan itu tidak terjadi.
Andaikan dia tidak pergi tiba-tiba. Andaikan dia memberi penjelasan kepadaku
terlebih dahulu. Sial, aku mulai beranda-andai lagi.
Aneh rasanya saat aku terus
memikirkannya padahal dia tak pernah peduli. Aku merasa lemah saat berurusan
dengannya. Aku tak tahu kenapa. Gadis itu benar-benar membuatku gila. Apa yang
dia lakukan hingga membuatku uring-uringan seperti ini? Argh, aku harus meminum
kafeinku sekarang juga. Setidaknya dengan menghirup dan merasakan aroma kopi
yang menenangkan, aku bisa melupakannya sesaat –ya, memang hanya sesaat.
Pikiran dan hatiku sepertinya sudah bersahabat dengannya.
Kuteguk perlahan cappucino latte ini.
Nikmat duniawi yang siapapun boleh mencobanya. Bagiku kopi adalah salah satu
cara untuk membuat kita melupakan sejenak masalah yang ada. Menikmati hidup
untuk diri sendiri tanpa harus disebut egois. Kopi adalah bagian dari hidupku
yang tidak pernah aku sesali. Sayangnya, dia tidak menyukai kegemaranku ini.
“Ngga baik kebanyakan minum kopi.”,
katanya.
Tidak menyukai bukan berarti membenci.
Dia juga sangat suka kopi. Bedanya ia menyukai rasa kopi yang ada di merk susu
favoritnya. Dia memang penggemar susu. Tiada hari tanpa susu, katanya.
Benar-benar gadis aneh. Lagi, aku mengingatnya. Sudahlah, kalian tak perlu
protes, ini memang kehidupanku. Ya, hidupku adalah memikirkannya.
Secangkir kopi sudah kuhabiskan. Vanilla
cake yang aku pesan pun sudah tak tersisa. Namun, hujan belum juga memberi
tanda-tanda untuk berhenti. Mungkin hujan sudah berada di puncak kerinduannya
pada bumi. Bumi sungguh beruntung, dicintai teramat dalam oleh langit. Aku iri,
huh.
Drrt..drrt...drrt. Ponselku berdering
tanda telepon masuk. Ares. Tumben sekali dia meneleponku. Pasti ada hal
mendesak.
“Halo, Res. Tumben banget lo...” ucapanku
terhenti saat mendengar suara cemas Ares. “Lo kenapa, Res? Tenang Res, tenang.”
Aku mencoba menenangkan Ares. Dia sulit
mengendalikan diri saat cemas seperti ini. Aku khawatir ada hal serius yang
terjadi. Apakah terjadi sesuatu pada Ares? Ah, atau mungkin... Venus?
“Tenangin diri lo dulu, Res. Tarik
napas. Lo ngga akan bisa ngomong kalo masih cemas gini. Kontrol diri lo dulu.”
Kudengar Ares menarik napas dan
menghembuskannya kasar. Aku rasa dia mulai tenang.
“Venus, Di. Venuss....”
Gotcha. Benar dugaanku, ini tentang
Venus. Hal apalagi yang terjadi pada gadis itu hingga membuat sahabatku secemas
ini.
“Oke, lo tenang, Res. Venus kenapa?”
“Venus kecelakaan, Res. Venus kecelakaan
pas mau nemuin gue. Dia kecelakaan karena gue, Di. Gue yang bikin dia koma sekarang.
Gue harus gimanaa??”
Ares terus menyalahkan dirinya. Aku
menaruh uang di meja dan beranjak pergi. Panggilan telepon Ares tidak aku
tutup, aku khawatir dia akan menyakiti dirinya –lagi.
“Lo harus tenang, Res. Venus pasti
baik-baik aja. Gue bakal kesana sekarang juga. Lo harus tenang. Lo ga
uss......”
Saking terburu-burunya aku tidak
menyadari di depanku ada seorang gadis. Terlambat, aku menabraknya. Buku-buku
yang dia bawah terjatuh di jalan. Aku pun berjongkok untuk membantunya.
“Maaf mba, saya ngga sengaja. Saya
buru-buru banget. Mba ngga pa-pa, kan?”, tanyaku sambil membantunya mengambil
buku dengan tangan kananku. Ponselku? Tentu saja ada di tangan kiri, masih
setia berada di telingaku.
“Ngga pa-pa kok, mas. Makasih, yaa.” Dia
mendongakkan kepalanya.
Aku terkejut. Sangat. Dia gadis yang
selalu aku pikirkan. Dia gadis yang selalu aku rindukan. Dia gadis aneh yang
aku sayang. Dia...
“Kara?”, ucapku tak percaya pada apa
yang baru saja terjadi.
Gadis itu sama terkejutnya seperti aku.
Aku lihat dia segera membereskan buku lalu bangkit dan heey dia lari begitu
saja.
“KARA!!!”, teriakku. “KARA!!!”
Argh, sial. Aku mengejarnya sebisaku. Tidak,
aku lupa pada Ares.
“Ares, barusan gue ketemu Kara. Gue
bakal secepetnya sampe rumah sakit. Lo jangan kemana-mana dan jangan ngelakuin
hal aneh lagi.”
Aku mematikan ponselku dan terus
mengejar Kara. Aku sangat yakin dia adalah Kara. Gadisku yang selalu aku
rindukan. Aku tidak salah, dia benar-benar Kara. Argh, kenapa dia harus lari
seperti ini? Apa yang membuat dia tak ingin bertemu denganku?
“Kara!!”, teriakku sekali lagi. Namun
nihil, Kara menghilang. Gadisku kembali pergi.
Karaku pergi dan aku kembali...
Rindu.
Komentar
Posting Komentar