Langsung ke konten utama

Untukmu Penghuni Saturnus; Salam Perpisahan

“Woy!”
Masih ingat dengan sapaan itu? Ya, sapaan yang selalu kamu berikan di awal-awal percakapan kita. Lalu seiring waktu berjalan sapaan itu berganti “Hei!” dan berganti lagi menjadi “Assalamu’alaikum”. Bukan hal yang penting untuk dibahas sebenarnya. Hanya saja aku suka caramu menyapaku. Hanya satu kata tapi mampu membuatku terkesan. Ah, apa-apaan aku ini, berlebihan.
Boleh aku bercerita lagi tentangmu? Huh, aku bertanya seakan kamu benar-benar membaca ini. Lupakan soal itu. Kamu mengizinkanku atau pun tidak, aku akan tetap bercerita. Andai kamu tahu, satu juta kata takkan mungkin bisa menggambarkan kamu seutuhnya, karena kamu terlalu, eum, istimewa. Aneh  memang, menganggap orang lain istimewa padahal tidak pernah bertemu.
Katamu aku bisa berbagi saat aku merasa sedih. Katamu aku bisa berbagi saat aku kalut. Katamu aku bisa meminta apapun padamu selama kamu bisa mengabulkannya. Katamu aku bisa melampiaskan semua emosiku. Namun, pada kenyataannya? Kamu pergi saat aku membutuhkanmu. Kamu pergi saat aku ingin berbagi. Kamu pergi saat aku merasakan itu semua.
Dulu, kamu yang memberiku semangat saat aku mulai lelah belajar. Dulu, kamu yang memberiku wejangan kehidupan. Dulu, kamu yang meyakinkanku saat aku ragu akan sesuatu. Tapi itu dulu, semua berubah, secepat aku mengedipkan mata, secepat aku menarik napas, dan secepat angin berlalu. Aku kehilangan. Ya, kehilangan kamu; Penghuni Saturnus. Kamu tahu, aku benci dengan perpisahan. Kamu tahu tapi kamu juga yang melakukan itu padaku. Saat aku mulai menerima adanya perpisahan, saat aku mulai berdamai dengan takdir. Kamu menghilang, kamu membuat perpisahan itu menjadi nyata. Membuatku semakin benci akan perpisahan.
Ah, aku sudah muak bila harus mengingat hal-hal menyakitkan seperti itu. Bukankah ada banyak kenangan indah bersamamu? Lebih baik aku ceritakan hal-hal menyenangkan saja. Lagipula itu akan jauh membuatku merasa bahagia; setidaknya mengingatmu mampu membuatku bahagia.
Mari kita mulai bernostalgia dengan semua kenangan yang tersisa. Bagaimana jika kita mulai dari adikmu? Hahaha, itu topik yang menyenangkan, sangat. Adikmu yang sering menyuruhmu kesana kemari. Adikmu yang mencorat-coret motor kesayanganmu. Adikmu yang mampu membuatmu menahan amarah. Lucu sekali saat membayangkannya, apalagi jika aku diizinkan untuk melihatnya secara langsung. Tapi itu sesuatu yang tidak mungkin, bukan? Daya imajinasiku memang kadang berlebihan dan kamu tahu itu.
Lalu, ada hal lain yang lebih menyenangkan. Siapa yang punya niatan menakutiku dengan foto seram namun reaksiku justru tertawa karena menurutku foto itu cukup lucu? Siapa yang gagal membuatku terjebak dalam kejahilanmu karena aku tahu kamu sedang mengerjaiku? Siapa yang merajuk saat berusaha melucu namun responku biasa saja? Siapa? Jawabannya adalah kamu; Penghuni Saturnus. Mengingatnya kembali mampu membuatku tertawa, setidaknya saat aku menulis ini. Tidak hanya tertawa, tapi juga rindu. Hft, aku lelah bila membahas rindu. Aku tak habis pikir, mengapa merindukanmu tidak pernah ada ujungnya. Sebegitu menarikkah, kamu? Huh, entahlah.
Aku hampir melupakan satu hal. Sekarang aku sudah punya sebotol parfum. Hahaha, akhirnya setelah menunggu sekian lama. Kamu ingat? Kamu berniat memberiku parfum milikmu, namun dengan tegas aku menolaknya. Bagaimana mungkin aku memakai parfum beraroma laki-laki? Membayangkannya saja membuatku mual. Sekarang kamu tidak perlu khawatir –memang aku siapamu, huh?–, aku tidak perlu memakai minyak telon lagi. Hahaha. Aku benar-benar Manusia Bumi yang aneh, kan?
Masih ingat saat kita berdebat tentang anak ekstrakurikuler? Kamu bilang anak modeling cantik, namun anak dance jauh lebih menarik. Kamu selalu melihat anak dance berlatih saat kamu merasa bosan dengan pelajaran di kelas. Aku sadar, aku bukan anak modeling yang cantik, aku bukan anak dance yang mampu membuat siapapun tertarik. Aku hanyalah anak jurnalistik yang setiap minggunya berkutat dengan papan mading. Tapi kamu tidak mengejekku, kamu justru setuju dengan pendapatku tentang “Anak dance emang cantik-cantik, tapi anak jurnalis lebih kreatif.”
Aku sangat rindu semua percakapan kita hingga aku membuat harapan yang tidak seharusnya kubuat. Aku berharap kamu kembali hadir dan bercerita lagi seperti dulu. Aku berharap ini semua hanyalah bagian dari permainan waktu. Aku berharap kamu datang lagi dan mengetuk pintu rumahku. Aku ingat, sangat ingat, beberapa kalimatmu dibawah ini dan aku merindukannya, sekarang.
“Jagain adek dulu baru anak orang.”
“Lu beneran gapapa?”
“Lu sakit? Get well soon.”
“Kalo adzan diem, dengerin orang adzan.”
“Kata guru gua, jodoh kita itu cerminan dari kita. Kalo guanya ngga sholat, jodoh gua kan juga ngga sholat, entar anak gua nasibnya gimana.”
“Kalo menurut gua, sih, sejak ijab kobul si suami bertanggung jawab penuh sama istrinya termasuk kebutuhan tersier. Istri gua entar ngga bakal gua suruh kerja, udah di rumah aja. Urusan nafkah biar urusan suami.”
“Kalo lu deket gua anter jemput beneran. Tapi bantu gua. Hahah.”
Entah mengapa aku tersenyum mengingatnya, aku rindu, dan anehnya aku merasa seakan hatiku juga merasakannya. Bermain dengan hati tidak selalu berurusan dengan cinta, kan? Aku hanya, eum, hanya nyaman saat bersamanya. Aku merasa seperti menemukan seseorang yang mengerti diriku tanpa perlu bertanya. Aku merasa seperti memiliki seseorang yang bisa kujadikan pegangan saat aku mulai terjatuh. Walaupun pada akhirnya, kamu menghilang. Menghilang bersama harapan dan kenangan.
Aku tidak mau mengungkit kisah pahit ini terus-menerus. Hubungan kita berawal dari sebuah sapa, lalu mengapa kita tidak mengakhirinya dengan salam perpisahan? Terasa jauh lebih menyenangkan, bukan? Sebelum aku menutup ini semua. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu; Penghuni Saturnus.
Hallo, Penghuni Saturnus. Bagaimana kabarmu?
Aku tidak menyangka pertemuan kita akan sesingkat ini; hanya duapuluh hari. Tapi kurasa semua itu sudah lebih dari cukup. Tuhan ingin kita bertemu dalam waktu yang singkat. Tuhan ingin kita melanjutkan hidup yang lebih nyata lagi.
Aku belajar banyak hal dari perpisahan ini. Mau bagaimana pun, sesiap apapun aku menghadapi perpisahan, aku tidak pernah mungkin siap. Tapi mau tidak mau aku harus ikhlas, karena itu semua sudah hukum alam, seperti katamu.
Malam ini, bersama kenangan, bintang di langit, serta senandung lagu Lost Boy. Aku minta maaf apabila ada banyak perkataanku yang membuatmu merasa tidak nyaman. Aku minta maaf apabila sering merepotkanmu. Aku minta maaf apabila aku selalu mengganggu waktu luangmu.
Tidak hanya maaf yang ingin aku sampaikan, aku juga ingin mengucapkan terimakasih. Terimakasih atas semua hal yang sudah kamu bagi. Terimakasih sudah menjadi satu-satunya Penghuni Saturnus yang mau menerima spesies aneh sepertiku. Terimakasih banyak, Vano.
Selamat tinggal! Sampai jumpa di masa depan!

Dariku,
Tante Galak; Mamalia berwujud Vampire.
Ps. Ingat dengan julukan itu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru

“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse. Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu. Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku. Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin be

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....

Kamu; Penduduk Bumi

Cerita ini kubuat spesial untukmu, Penduduk Bumi. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menyimpan kenangan dengan seseorang. Kali ini aku memilih membuat cerita ini. Mencoba menggali kembali kenangan yang sudah terlewati. Mengingat banyak hal yang pernah terlupakan. Mengulik perjalanan panjang yang pernah terjadi bersamamu, Penduduk Bumi. Boleh aku memulainya? Tentu saja, ini ceritaku. Kamu–Penduduk Bumi–yang selalu ada, terimakasih sudah bertahan sejauh ini. Kamu tahu? Aku takut kamu menghilang seperti yang lain,  jauh sebelum kamu merasakannya juga. Aku takut kamu pergi saat aku mulai terbiasa. Aku takut kamu pergi saat aku mulai nyaman. Aku takut, jujur saja. Itu sebabnya aku pernah sedikit menghindarimu. Berjaga-jaga agar hatiku tidak terlalu sakit saat kamu memilih pergi. Apa kamu menyadarinya? Eum, sepertinya tidak. Kamu–Penduduk Bumi–yang selalu hadir dengan semangat yang kamu punya, terimakasih untuk semua waktumu. Terimakasih karena tidak pernah lelah menghadapi