Langsung ke konten utama

Antara Jarak dan Kamu

Aku terlahir sebagai perempuan. Perempuan yang mungkin dianggap sebagian orang cengeng, lemah, serta penakut. Tapi sejak pertemuan itu, aku sadar bahwa kamu memperlakukanku dengan cara yang berbeda. Berbeda? Ya, bahkan sangat berbeda. Kamu yang selalu membuatku optimis. kamu yang membuatku berpikir dewasa. Kamu, hanya kamu.
Terimakasih, untuk segala hal yang kamu berikan. Terimakasih untuk waktu berharga yang rela kau buang hanya untukku. Aku sadar, aku belum sepenuhnya menjadi apa yang kamu inginkan. Tapi dengang ijin waktu yang terus berputar, aku akan mencoba untuk menjadi perempuan yang jauh lebih baik lagi.
Aku tidak seperti Aisyah yang mengerti agama dengan baik, tapi karenamu, karena ilmu yang kau miliki, perlahan aku mulai mengerti sedikit demi sedikit kewajibanku sebagai seorang muslimah. Ya, aku mengerti, betapa bodohnya aku selama ini. Tapi lagi-lagi kamu hadir sebagai penyemangat, kalimat-kalimat indahmu yang selalu terngiang dibenakku, membuat aku menjadi semakin semangat. "Kalo kamu ngeluh dan cuma putus asa terus, kamu ngga akan berhasil. Percaya deh sama aku, Allah selalu punya cara tersendiri buat umat-Nya.", begitu katamu.
Hingga suatu hari, kamu harus melanjutkan studimu di tempat lain. Tempat yang tak bisa kujangkau dengan inderaku. Sedih? Sangat, tapi aku berpikir bahwa ini yang terbaik bagimu. Jarak tak akan membuat hubungan ini berbeda. Aku tahu, kamu tahu, Allah-pun tahu, bahwa niat baik akan selalu berakhir baik. Aku harus merelakanmu walau aku tak ingin. 
Aku tak ingin menjadi perempuan egois, aku tak mungkin menghentikan mimpimu. Mimpi yang sedari kecil selalu berusaha untuk kau gapai. Walau jarak terbentang panjang, itu tak akan mengurangi kasihku sedikitpun. Bagaimana akhirnya? Biarlah hanya Allah yang tahu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Give Me Dare! #2: Keluarga Baru

“If you’re still want people stay in your life. Then, try to care. Look around you! Learn! Only you can change you.” – Southern Eclipse. Pernah merasa takut berada dalam suasana baru? Pernah merasa khawatir mendapat penolakan dalam lingkungan tersebut? Jika iya, itu artinya aku tidak sendiri. Aku selalu takut jika berurusan dengan sesuatu hal yang baru. Aku takut jika nantinya hal tersebut tidak menerimaku dan jika aku diterima, aku takut terlena dengan hal itu kemudian melupakan beberapa hal yang ada di masa lalu. Aku benci saat banyak orang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Mereka hanya berucap tanpa mengerti ketakutan yang aku rasakan. Aku tidak seperti mereka, aku berbeda. Aku merasa ada tembok tinggi yang menghalangi kebebasanku untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Dan sepertinya ketakutan itu sudah tertanam kuat di pikiranku. Beberapa lama setelah aku dinyatakan diterima di perguruan tinggi, rasa takut yang aku rasakan semakin be

Rindu Ayah

"Gue gak pernah iri ngeliat orang pacaran mesra-mesraan. Gue cuma ngiri ngeliat Ayah sama anaknya bercanda-bercandaan"- Unknown. Iri? Ya, jelas. Di umur gue yang mulai dewasa ini, perhatian Ayah ke gue semakin berkurang. Berangkat sekolah, ketemu gak lebih dari lima menit. Gue pulang jam setengah 4, Ayah lagi kerja. Malem pas gue belajar, Ayah pulang dan keadaannya lagi cape parah. Jadi, sekarang gue jarang banget bisa ngobrol atau sekedar sharing masalah sekolah ke Ayah. Gue selalu ngiri ngeliat anak kecil yang digendong sama Ayah mereka. Gue selalu ngiri liat seorang Ayah yang nyuapin anaknya. Fyi, gue pernah ngerasain semua itu. lebih tepatnya 9 tahun yang lalu. Gak kerasa ya, gue udah gede. Ayah gak mungkin gendong gue lagi, gak mungkin nyuapin gue lagi, apalagi ngelonin gue tidur. Kalo dibilang kangen, gue selalu jawab banget. Kadang gue kalo lagi kangen suka ngode-ngode gitu ke Ayah. Gue sering bilang, "Yah, suapin dong." atau "Yah, keloniiinn....

Dialog Batin dengan Tuhan

  Tuhan, aku lelah, sungguh. Entah sampai kapan aku harus melalui ini semua. Aku lelah, Tuhan. Sungguh-sungguh lelah. Semua yang hadir, semua yang terjadi, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi meghadapinya. Aku paham; sangat, aku tidak bisa terus mengeluhkan hidup. Tidak seharusnya aku seperti ini. Tuhan, bisakah aku berhenti sejenak? Menarik napas dalam-dalam dan berdamai dengan diriku sendiri sebelum mencoba berdamai dengan permainan semesta? Tuhan, maukah Kau mendengar suara hatiku? Aku merasa asing pada jiwa yang Kau tanamkan dalam tubuh ini. Aku merasa asing dengan segalanya. Begitu banyak beban yang diberikan padaku. Begitu beratnya beban yang harus kupikul saat ini. Aku harus apa, Tuhan? Aku harus seperti apa? Bolehkah aku rehat? Aku bukannya tidak mensyukuri kehidupan yang engkau beri. Bukan, aku hanya lelah. Tuhan, apakah jalanku masih sangat panjang? Apakah aku harus menyelesaikan permainan semesta ini? Apa aku tidak diberi pilihan untuk lari dari semuanya? Aku lelah Tuha